FOLLOW US @ INSTAGRAM

Tugas PENELITIAN PENDIDIKAN dan PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA bagi ABK

NAMA : Dina Inaroh
NIM : 15010044051
KELAS : PLB 2015 B


1. Penelitian Pendidikan--------------------------------------------------------------------------------------

-------------------------------------------------Resume RPS----------------------------------------------------

A.    PERTEMUAN 1, 2, 3, & 4
Metode ilmiah, hakekat penelitian dan metodologi penelitian
1.      Metode ilmiah adalah kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Penelitian yang dilakukan menggunakan metode ilmiah mengandung dua unsur penting yakni pengamatan (observation) dan penalaran (reasoning). Metode ilmiah didasari oleh pemikiran bahwa apabila suatu pernyataan ingin diterima sebagai suatu kebenaran maka pernyataan tersebut harus dapat diverifikasi atau diuji kebenarannya secara empirik (berdasarkan  fakta). Unsur utama metode ilmiah adalah pengulangan empat langkah berikut:
a.       Karakterisasi (pengamatan dan pengukuran)
Menurut sumber ada beberapa karakteristik metode ilmiah: Bersifat kritis, analistis, artinya metode menunjukkan adanya proses yang tepat untuk mengidentifikasi masalah danmenentukan metode untuk pemecahan masalah.
Bersifat logis, artinya dapat memberikan argumentasi ilmiah. Kesimpulan yang dibuat secara rasional berdasarkan bukti-bukti yang tersedia. Bersifat obyektif, artinya dapat dicontoh oleh ilmuwan lain dalam studi yang sama dengan kondisi yang sama pula. Bersifat konseptual, artinya proses penelitian dijalankan dengan pengembangan konsep dan teori agar hasilnya dapat di pertanggung jawabkan. Bersifat empiris, artinya metode yang dipakai didasarkan pada fakta di lapangan.
b.      Hipotesis (penjelasan teoretis yang merupakan dugaan atas hasil pengamatan dan pengukuran)
  1. Prediksi (deduksi logis dari hipotesis)
  2. Eksperimen (pengujian atas semua hal di atas)
Langkah – Langkah Metode Ilmiah
·         Menyusun Rumusan Masalah
·         Menyusun Kerangka Teori
·         Merumuskan Teori
·         Melakukan Eksperimen
·         Mengolah dan Menganalisis Data
·         Menarik Kesimpulan
·         Mempublikasikan Hasil

2.      Metodelogi penelitian adalah cara atu strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperleh data yang diperlukan. Metode penelitian harus dibedakan dari teknik pengumpulan data yang merupakan teknik yang lebih spesifik untuk memperoleh data. Metdelogi dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: historic, metode survey dan metode eksperimen. Metede historik digunakan jika data yang dipergunakan terutama yang berkaiatan dengan masa lalu, sehingga teknik pengumpulan data yang digunakan terutama adalah studi dukumenter atau mungkin juga studi artifak. Metede historik digunakan jika data yang dipergunakan terutama yang berkaiatan dengan masa lalu, sehingga teknik pengumpulan data yang digunakan terutama adalah studi dukumenter atau mungkin juga studi artifak.
Manfaat Metodologi Penelitian
  1. Menggunakan metodologi, peneliti dapat memudahkan pekerjaannya agar sampai pada tahap pengambilan keputusan atau kesimpulan-kesimpulan.
  2. Menggunakan metodologi, para peneliti dapat mengatasi berbagai keterbatasan yang ada, misalnya keterbatasan waktu, biaya, tenaga, etik, dan lain-lain.
  3. Kesimpulan yang diambil oleh peneliti dapat terpercaya.
  4. Kesimpulan yang diambil dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan.
Apabila kita sudah memahami arti dan manfaat dari metodologi penelitian, maka kita akan sampai pada pertanyaan: ada berapa macam metode penelitian?
Berdasarkan berbagai sumber yang ada, Metode penelitian ada dua macam, yaitu metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Untuk penjelasan secara komprehensif pada dua jenis metode penelitian ini, statistikian sudah menjelaskannya dalam artikel lain dalam website ini. Silahkan baca:
a.       Penelitian Kuantitatif
b.      Penelitian Kualitatif
Namun, beberapa sumber yang lain menyebutkan bahwa selain metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, ada metode yang lain, yaitu korelasi dan analisis regresi serta Meta-Analysis. Statistikian tidak dapat menjelaskan mengapa korelasi, analisis regresi dan meta-analysis menjadi bagian yang lain dari pada metode kuantitatif dan kualitatif. Padahal menurut statistikian, korelasi dan analisis regresi merupakan bagian dari metode penelitian kuantitatif. Dan lebih tepat disebut sebagai jenis-jenis analisis dari pada disebut sebagai jenis metode penelitian. Hal ini menajadi pekerjaan rumah bagi statistikian dan juga para pembaca untuk menemukan jawabannya. Begitu juga Meta-Anaysis, statistikian berpendapat bahwa jenis ini termasuk ke dalam metode penelitian kualitatif. Silahkan para pembaca mencari jawaban sendiri terhadap wacana yang statistikian ajukan ini.
Agar pemahaman pembaca lebih komprehensif, silahkan baca artikel kami tentang Klasifikasi Penelitian dan Desain Penelitian.
3.      Hakikat Penelitian adalah pencarian jawaban dari pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya oleh peneliti. Selanjutnya hasil penelitian akan berupa jawaban atas pertanyaan yang diajukan pada saat dimulainya penelitian. Untuk menghasilkan jawaban tersebut dilakukan pengumpulan, pengolahan dan analisis data dengan menggunakan metode tertentu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa satu ciri khas penelitian adalah bahwa penelitian merupakan proses yang berjalan secara terus-menerus hal tersebut sesuai dengan kata aslinya dalam bahasa inggris yaitu research, yang berasal dari kata re dan search yang berarti pencarian  kembali.


B.     PERTEMUAN 5 & 6
kajian teoritis dan empiris dalam penelitian
Landasan Teori sangat penting dalam sebuah penelitian terutama dalam penulisan skripsi peneliti tidak bisa mengembangkan masalah yang mungkin di temui di tempat penelitian jika tidak memiliki acuan landasan teori yang mendukungnya. Dalam skripsi landasan teori layaknya fondasi pada sebuah bangunan. Bangunan akan terlihat kokoh bila fondasinya kuat, begitu pula dengan penulisan skripsi, tanpa landasan teori penelitian dan metode yang digunakan tidak akan berjalan lancar. Peneliti juga tidak bisa membuat pengukuran atau tidak memiliki standar alat ukur jika tidak ada landasan teori. Seperti yang diungkapkan oleh Sugiyono (2012:52), bahwa landasan teori perlu ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar yang kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error).
Dalam konsepsi metoda ilmiah, yang paling utama adalah keberadaan peran data dari dunia nyata, yang tidak lain adalah data empiris. Ilmu pengetahuan mengakui keberadaan data ini dan setiap ide-ide imiah yang ada harus diuji dengan data yang didapat, untuk menunjukkan benar atau tidaknya. BIla memang hasil pengujian menunjukkan datanya sah (valid), data yang ada diolah dan temuannya dikembangkan menjadi suatu teori yang dapat menjelaskan data dan dalam taraf tertentu juga bisa meramalkan. Sehingga tujuan ilmu sosial tiada lain adalah mencoba untuk membuat berbagai teori yang dapat menjelaskan tentang  manusia dan perilakunya.  Singkatnya, teori tentang perilaku manusia ini harus berdasar data dan harus selalu diuji berdasar data dunia nyata, ciri utama penelitian empiris.
Tentu dalam ilmu sosial, penelitian empiris bukan satu-satunya jenis penelitian yang ada. Terdapat berbagai jenis riset lain bisa dilakukan seperti penelitian teoritis, riset konseptual-filosofis maupun peneliitian historis. Fokus utama dari penelitian empiris adalah informasi yang dapat diamati dari dunia nyata atau pengalaman langsung darinya, yang tidak lain adalah data. Sehingga ide utamanya adalah dalam riset empiris kita menggunakan data sebagai cara untuk menjawab pertanyaan riset, untuk mengembangkan dan menguji ide ilmiah yang diajukan.
Dalam pembahasan kajian pustaka dan kerangka teori perlu diungkapkan kerangka acuhan komprehensif mengenai konsep, prinsip, atau teori yang digunakan sebagai landasan dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Uraian dalam kajian pustaka diharapkan menjadi landasan teoritik mengapa masalah yang dihadapi dalam penelitian tindakan kelas perlu dipecahkan dengan strategi yang dipilih. Kajian teoritik mengenai prosedur yang akan dipakai dalam pengembangan juga dikemukakan.
Kajian pustaka dan kerangka teori dipaparkan dengan maksud untuk memberikan gambaran tentang kaitan upaya pengembangan dengan upaya-upaya lain yang mungkin sudah pernah dilakukan para ahli untuk mendekati permasalahan yang sama atau relatif sama. Dengan demikian pengembangan yang dilakukan memiliki landasan empiris yang kuat. (UM, 2005).
Fungsi Kajian Pustaka
Dalam penelitian terlebih penelitian tindakan kelas kajian pustaka dan kerangka teori memiliki beberapa fungsi. Seperti yang dikemukakan Zubaidah, (2007) bahwa fungsi kajian pustakan meliputi; (1) mengetahui sejarah masalah penelitian, (2) membantu memilih prosedur, (3) memahami latar belakang teoritis masalah penelitian, (4) mengetahui manfaat penelitian sebelumnya, (5) menghindari duplikasi, dan (6) memberikan pembenaran pemilihan masalah penelitian.
Amirin (2000) memaparkan bahwa kajian pustaka juga digunakan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan diangkat menjadi topik penelitian serta untuk menjelaskan kedudukan masalah dalam tempatnya yang lebih luas. Konstruksi teoritik yang ada dalam kajian pustaka akan memberikan landasan bagi penelitian. Sehingga sumbangan kajian pustaka pada penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut;
  1. Konstruksi Teoritik sebagai Dasar
Penelitian apa pun tidak akan terlepas dari kerangka teori. Penelitian tidaklah berarti tanpa teori sama sekali. Paling tidak sebagai pegangan atau pedoman untuk memberikan asumsi atau postulat, prinsip, teori, konsep, preposisi dan definisi operasional.
2.      Konstruksi Teoritik sebagai Tolok Ukur
Penelitian tindakan berupaya untuk meningkatkan kinerja pembelajaran atau proses kegiatan pembelajaran sehingga perlu sarana untuk mengontrol baik tidaknya prosedur yang digunakan. Kerangka teori dapat membantu sebagai ukuran patokan (standart atau tolok ukur) yang dimaksud.
3.      Konstruksi Teoritik sebagai Sumber Hipotesa
Hipotesa pada umumnya dimunculkan dari kajian teori. Teori-teori yang diragukan akan dicoba dan diuji kembali sehingga terbentuklah hipotesa. Dasar rasional mengapa harus diuji kembali karena pembuktian secara teoritis harus diimbangi dengan pembuktian secara empiris.


C.    PERTEMUAN 7 & 8
kajian terhadap variabel metodologi penelitian
1.      Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulan. Secara teoritis variabel dapat didefiisikan sebagai atribut seseorang, atau objek yang mempunyai “Variasi” antara satu orang dengan yang lain atau satu objek dengan objek yang lain (Hatch dan Farhady,1981). Dinamakan variabel karena ada variasinya. Apa yang merupakan variabel dalam sesuatu penelitian ditentikan oleh landasan teoritisnya, dan ditegaskan oleh hipotesis penelitian. Karena itu apabila landasan teoritisnya berbeda, variabel-variebel penelitiannya juga akan berbeda. Jumlah variabel yang dijadikan objek pengamatan akan ditentukan oleh sofistikasi rancangan penelitiannya. Makin sederhana sesuatu rancangan penelitian, akan melibatkan variabel-variabel yang makin sedikit jumlahnya, dan sebaliknya.
a.      Jenis-Jenis Variabel Penelitian 
Variabel dapat dikelompokkan menurut beragam cara, namun terdapat tiga jenis tiga jenis pengelompokkan variabel yang sangat penting dan mendapatkan penekanan. Karlinger, (2006: 58) antara lain:
1)      Variabel bebas dan variabel terikat
Variabel bebas sering disebut independent, variabel stimulus, prediktor, antecedent. Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat. Variabel terikat atau dependen atau disebut variabel output, kriteria, konsekuen, adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Variabel terikat tidak dimanipulasi, melainkan diamati variasinya sebagai hasil yang dipradugakan berasal dari variabel bebas. Biasanya variabel terikat adalah kondisi yang hendak kita jelaskan. Dalam eksperimen-eksperimen, variabel bebas adalah variabel yang dimanipulasikan (“dimainkan”) oleh pembuat eksperimen. Misalnya, manakala peneliti di bidang pendidikan mengkaji akibat dari berbagai metode pengajaran, peneliti dapat memanipulasi metode sebagai (variabel bebasnya) dengan mengggunakan berbagai metode. Dalam penelitian yang bersifat tidak eksperimental, yang dijadikan variabel bebas ialah yang “secara logis” menimbulkan akibat tertentu terhadap suatu variabel terikat.
2)      Variabel aktif dan variabel atribut 
Variabel aktif adalah variabel bebas yang dimanipulasi. Sebarang variabel yang dimanipulasikan merupakan variabel aktif. Misalnya peneliti memberikan penguatan positif untuk jenis kelakuan tertentu dan melakukan hal yang berbeda terhadap kelompok lain atau memberikan instruksi yang berlainan pada kedua kelompok tersebut atau peneliti menggunakan metode pembelajaran yang berbeda, atau memberikan imbalan kepada subyek-subyek dalam kelompok lain, atau menciptakan kecemasan dengan instruksi-instruksi yang meresahkan, maka peneliti secara aktif memanipulasi variabel metode, penguatan, dan kecemasan. Variabel atribut adalah yang tidak dapat dimanipulasi atau kata lain variabel yang sudah melekat dan merupakan ciri dari subyek penelitian. Misalnya: Intelegensi, bakat jenis kelamin, status sosial-ekonomi, sikap, daerah geografis suatu wilayah, dan seterusnya. Ketika kita melakukan penelitian atau kajian subyek-subyek penelitian kita sudah membawa variabel-variabel (atribut-atribut) itu. Yang membentuk individu atau subyek penelitian tersebut adalah lingkungan, keturunan, dan situasi-situasi lainnya. Perbedaan variabel aktif dan variabel atribut ini bersifat umum. Akan tetapi variabel atribut dapat pula menjadi variabel aktif.
3)      Variabel kontinu dan variabel kategori 
Sebuah variabel kontinu memiliki sehimpunan harga yang teratur dalam suatu cakupan (range) tertentu. Arti defenisi ini ialah: Harga-harga suatu variabel kontinu mencerminkan setidaknya suatu urutan peringkat. Harga yang lebih besar untuk variabel itu berarti terdapatnya lebih banyak sifat tertentu (sifat yang dikaji) yang dikandungnya, dibandingkan dengan variabel dengan harga yang lebih murah. Misalnya, harga-harga yang diperoleh dari suatu skala untuk mengukur ketergantungan (depedensi) mengungkapkan ketergantungan dengan kadar yang berbeda-beda, yakni mulai dari tinggi, menengah/sedang, sampai rendah. 
b.      Kegunaan dan Kriteria Variabel Penelitian 
1)      Kegunaan Variabel
Untuk mempersiapkan alat dan metode pengumpulan data  Untuk mempersiapkan metode analisis/pengolahan data Untuk pengujuian hipotesis 
2)      Variabel penelitian yang baik
a)      Relevan dengan tujuan penelitian 
b)      Dapat diamati dan dapat diukur
Dalam suatu penelitian, variabel perlu diidentifikasi, diklasifikasi, dan didefenisikan secara operasional dengan jelas dan tegas agar tidak menimbulkan kesalahan dalam pengumpulan dan pengolahan data serta dalam pengujian hipotesis.  
D.    Pertemuan 9 & 10 (kajian terhadap desain dan rancangan metodologi penelitian)
Desain penelitian atau rancangan penelitian merupakan suatu rancangan yang dapat menuntun peneliti untuk memperoleh jawaban terhadap petanyaan penelitian. Dalam pengertian yang luas desain penelitian mencangkup pelbagai hal yang dilakukan peneliti, mulai dari identifikasi masalah, rumusan hipotesis, operasionalisasi hipotesis, cara pengumpulan data, hingga analisis data.
Pada hakekatnya desai penelitian merupakan suatu wahana untuk mencapai tujuan penelitian, yang juga berperan sebagai rambu-rambu yang menuntun peneliti dalam seluruh proses penelitian. Dalam gars besarnya, desain penelitian memiliki dua kegunaan yang amat penting dalam suatu proses penelitian, yakni :
·         Sarana bagi peneliti untuk memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian.
·         Merupakan alat bagi peneliti untuk mengendalikan atau mengontrol variabel yang berpengaruh dalam suatu penelitian.
Desain penelitian membantu penelitu untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan peneliti yang sahih, objektif, akurat, serta hemat. Desain penelitian harus disusun dan dilaksanakan dengan penuh perhitungan agar dapat memperhatikan bukti empiris yang kuat relevansinya dengan pertanyaan penelitian. Desain yang direncanakan dengan baik sangat membantu peneliti untuk mengandalkan observasi dan intervensi, serta untuk melakukan inferensi atau generalisasi hasil penelitian.
Dalam menyusun proposal penelitian, biasanya peneliti menggunakan model atau stantar tertentu. Mengenai isi proposal penelitian, belum ada aturan atau stándar baku tertentu tentang unsur-unsur yang harus ada dalam suatu proposal penelitian.Biasanya tergantung pada institusi (PT), sponsor, pemberi dana, atau penggunapenelitian. Tapi paling tidak, dalam menyusun proposal penelitian, ada 3 unsur yang harus ada dalam suatu proposal penelitian, yaitu:
·         Latar belakang masalah yaitu pemahaman peneliti tentang peta permasalahan yang akan diteliti.
·         Kerangka teori dan telaah pustaka berupa pemahaman peneliti terhadap penelitian terdahulu dan peta teori dan posisi kerangka pikir dalam penelitiannya.
·         Metodologi yaitu pemahaman peneliti tentang cara untuk mencapai tujuan penelitiannya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, dalam penulisan proposal penelitian, yaitu:
·          Gagasan tentang sesuatu topik studi dilakukan dengan alasan-alasan tertentu, tujuan tertentu, pendekatan tertentu, dan metodologi untuk melakukannya.
·          Merupakan puncak akumulasi kegelisahan dan permasalahan akademik yang dicari pemcahannya. Kegelisahan akademik dengan argumen yang jelas dan di dukung dengan data dalam setiap pointnya.
·          Ditunjukkan bagaimana masalah itu terintegrasi secara konseptual.
·          Unsur dalam proposal penelitian merupakan satualur fikir yang logik dan utuh menggambarkan: gagasan, kerangka pikir, masalah, dan cara kerja untuk mencapai tujuan penelitian.
Dalam penyusunan proposal penelitian, peneliti akan berusaha mengungkapkan: 
·          (a)Apa yang akan diteliti?, 
·          Mengapa masalah itu diteliti?, 
·          Bagaimana penelitian itu dilakukan?,
·          Strategi apa yang digunakan dalam penelitian?, dan 
·          Kapan setiap stage penelitian itu dilakukan.


E.     PERTEMUAN 11, 12, &13
Metode ilmiah, metodologi penelitian, dan Proposal Penelitian
1.      Proposal penelitian merupakan rancangan penelitian dari seorang mahasiswa yang akan mengadakan penelisan karya ilmiah berupa skripsi, tesis maupun disertasi. Proposal merupakan bukti kemampuan mahasiswa dalam pembuatan rancangan penelitian dan mengembangkan ilmu pada salah satu bidang ke ilmuan tertentu. proposal disusun untuk dilanjutkan membuat karya ilmiah berupa skripsi, tesis masupun disertasi. Secara umum proposal penelitian adalah jenis proposal yang banyak cligunakan untuk bidang ekaclemik khususnya datam bidang karya ilmiah yang biasa dibuat oleh para Mahasiswa. Contoh proposal penelitian seperti skripsi, tesisesertasi, pembuatan PKM (Program Kreativitas Mahasiswa), dan lain sebagainya.
Bentuk proposal peneUtian adalah berupa dokumen singkat yang berisikan rencana peneliti datam melakukan penelitiannya. Proposal penelitian untuk S2 ataupun S3 bisa sangat singkat sekitar 500 kata, atau juga bisa sangat panjang sekitar 6000 kata (15 halaman) tergantung dan program studi yang diambilPembuatan proposal penelitian ini dapat dijadikan sebagai bukti apakah seorang mahasiswa tetah mampu meneliti dan mengembangkan suatu ilmu pengetahuan yang diterimanya atau tidak. Proposal ini juga meletih tingkat keseriusan kita saat sedang meneliti sesuatu, dapat di lihat dan hasil yang diperoleh nantinya.
Proposal memiliki tujuan khusus dari beberapa karya penulisanya diantaranya ialah:
a.        Menampilkan pokok permasalahan yang harus di teliti dan poin – poin penting dari penelitian tersebut
b.       Mencari berbagai data yang di perlukan untuk memecahkan pokok permasalahan.
c.        Menyarankan bagaimana data tersebut akan dikumpulkan, di perlakukan serta diinterpretasikan.
Proposal memiliki ciri-ciri khusus dari beberapa penulisan karya lmiah lain. adapun karakteristik proposal , yaitu :
  1. isinya berfokus pada kajian mengenai salah satu isu sentral yang tercakup dalam disiplin ilmu tertentu, sesuai dengan program setudi yang di tempuh oleh mahasisiwa yang bersangkutan.
  2. merupakan rancangan pengujian empirik terhadap posisi teoritik tertentu dalam disiplin ilmuyang di pelajari.
  3. mengungkapkan data primer sebagai data utama yang dapat di tunjang oleh data sekunde, sedangkan untuk proposal bilbiograpi digunakan sumber yang otentik.
  4. ditulis dengan bahasa indonesia yang baik dan bener kecuali program luarnegeri atau jurusan bahasa inggris, proposal ditulis dalam bahasa inggris.



 ----------------------------------------------Proposal Penelitian-----------------------------------------------


Proposal Penelitian Pendidikan
PERAN GURU DALAM MEMBIMBING SISWA DISLEKSIA DI SD INKLUSI KOTA SURABAYA

BAB I
LATAR BELAKANG
“Pendidikan merupakan interaksi antara peserta didik dengan pendidik yang dapat berlangsung dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat (lingkungan sosial budaya)”. (Rubiyanto, 2013:2). Interaksi pendidikan yang pertama berlangsung dalam keluarga, karena didalam keluarga anak menerima pengetahuan, contoh perilaku, sikap, tauladan yang baik dari orang tua melalui suatu proses yaitu proses bimbingan, latihan dan asuhan dari keluarga. Keluarga adalah pihak pertama yang akan memberikan contoh perilaku, sikap, tauladan dalam diri anak. Keluarga sebagai lingkungan yang paling dekat dan sebagai tempat pendidikan pertama bagi anak.
Keluarga mempunyai peran yang sangat penting dalam pendidikan. Proses pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari peran orang tua dalam mendidik anak. Selain dari keluarga peran sekolah juga penting bagi pendidikan. Guru sebagai pendidik di lingkungan sekolah berfungsi sebagai pembawa amanat orang tua dalam pendidikan. Di dalam dunia pendidikan interaksi antara guru dengan peserta didik memiliki suatu tujuan tertentu yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik baik menyangkut aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut perlu mensinergikan peran keluarga dan peran sekolah dalam mendidik anak.
Tahapan belajar diawali dengan seseorang memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Sebelum seorang anak belajar menulis dan berhitung, maka ia harus bisa melewati proses membaca. Kemampuan membaca berkaitan dengan proses persepsi dan kemampuan kognitif. Namun banyak kita jumpai di lapangan, banyak anak bangsa yang tidak bisa membaca. Farida Rahim (2007:2) mengatakan bahwa “hakikat membaca adalah suatu yang rumit yang melibatkan banyak hal, tidak hanya sekedar melafalkan tulisan, tetapi juga melibatkan aktivitas visual, berfikir, psikolinguistik, dan metakognitif.
Membaca merupakan suatu kegiatan yang bersifat kompleks karena kegiatan ini melibatkan kemampuan dalam mengingat simbol-simbol grafis yang berbentuk huruf, mengingat bunyi dari simbol-simbol tersebut dan menulis simbol-simbol grafis dalam rangkaian kata dan kalimat yang mengandung makna. Oleh sebab itu, kemampuan membaca dilandasi oleh kemampuan kognitif. Ketidakmampuan dalam operasi kognitif akan menyebabkan individu yang bersangkutan sulit untuk melakukan kegiatan membaca. Disamping hal tersebut, kegiatan ini membutuhkan kemampuan memusatkan perhatian. Tanpa kemampuan ini, sulit bagi seseorang untuk merangkai simbol-simbol grafis yang berbentuk huruf menjadi kata atau kalimat yang mengandung makna. (Jamaris, 2014:133) 
Membaca permulaan secara umum dimulai di kelas awal sekolah dasar, akan tetapi ada anak yang sudah melakukannya di taman kanak-kanak dan paling lambat pada waktu anak duduk di kelas dua sekolah dasar. Kegiatan membaca perlu dibiasakan sejak dini, yakni dari mulai anak mengenal huruf. Pada masa ini anak sudah mulai mempelajari kosa kata dan dalam waktu yang bersamaan ia belajar membaca dan menuliskan kosa kata tersebut. Jadikanlah kegiatan membaca sebagai suatu kebutuhan dan menjadi hal yang menyenangkan bagi siswa. Membaca dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja asal ada keinginan, semangat, dan motivasi.
Mengajar anak membaca mudah saja apabila diajarkan dalam suasana gembira, santai, tanpa beban atau was-was akan kegagalan. Apabila orang tua memberikan contoh dan mengarahkan anak atau membiasakan anak agar membaca, maka anak akan lebih tertarik dan termotivasi melakukan sesuatu kalau disertai dengan pemberian contoh, bukan hanya sekedar teori atau memberi tahu saja. Ketika anak memasuki usia sekolah, barulah guru memiliki peran dalam mengembangkan minat baca yang kemudian dapat meningkatkan kebiasaan membaca siswa. Dengan demikian orang tua dan guru sama-sama memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk dan meningkatkan kebiasaan membaca anak.
Siswa yang mengalami kesulitan belajar membaca menduduki peringkat tertinggi diantara kesulitan belajar yang lain. Dalam Jamaris (2014:137) “kira-kira 85 % dari anak-anak didiagnosis dengan kesulitan belajar yang berhubungan dengan membaca dan kemampuan bahasa”. Kesulitan belajar membaca disebabkan oleh perkembangan susunan syaraf pusat yang mengalami disfungsi minimal. Walaupun masalah ini tidak dapat dihilangkan, tidak berarti anak tidak dapat mengatasi kesulitan membaca yang dialaminya. Oleh sebab itu perlu mencari pendekatan dan metode membaca yang tepat yang sesuai dengan kebutuhan anak yang mengalami disfungsi minimal susunan syaraf pusat yang berkaitan dengan kemampuan membaca. Seperti yang terjadi pada anak disleksia, mereka memiliki banyak hambatan pada tahap membaca permulaan sehingga tidaklah mengherankan jika mereka kesulitan memahami isi bacaan dan menemui kesulitan mengikuti tahap membaca lanjut, hal ini berdampak juga pada motivasi belajar. Dalam James (2010:59) menjelaskan bahwa:
Kebanyakan anak mulai belajar membaca ketika mereka berumur lima tahun atau enam tahun. Memang beberapa anak belajar lebih cepat dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Tetapi terlalu dini untuk mengatakan bahwa seorang anak mengalami disleksia ketika ia baru berusia lima atau enam tahun. Hal ini dikarenakan semua anak pernah membuat kesalahan dalam melafalkan dan mengenali huruf-huruf. Kesalahan seperti ini adalah wajar dan tidak bisa secara gegabah dikatakan sebagai gejala disleksia. Anak-anak baru bisa dikatakan mengalami kesulitan membaca ketika mereka berusia tujuh atau delapan tahun, karena biasanya pada umur-umur tersebut anak sudah bisa membaca secara mandiri, tanpa bantuan orang lain.
Setiap anak memiliki potensi utama untuk belajar. Disleksia ini dapat menghambat anak dalam proses belajar dimana belajar diawali dengan kemampuan membaca sebagai jendela ilmu pengetahuan. Terlebih lagi gangguan disleksia tidak ada hubungannya dengan kapasitas intelegensi anak. Itu artinya bahwa anak yang mengalami gangguan bukan berarti anak bodoh. Menurut Arini (2007:159) “orang disleksia bisa juga memiliki kecerdasan yang tinggi. Contoh, si jenius Thomas Alfa Edisson penemu listrik dan Einstein penemu teori relativitas, ternyata juga menyandang disleksia”.
Menurut Lerner 1984 (dalam Abdurrahman, M. 2003:200) bahwa kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi yang dipelajari di sekolah.Jika siswa mengalami kesulitan membaca maka dia akan mengalami kesulitan dalam mempelajari berbagai badang studi pada kelas-kelas berikutnya.Adanya kesulitan membaca akan mengakibatkan ketidakmampuan menangkap pesan-pesan tulisan,padahal hampir semua mata pelajaran pesannya disampaikan melalui huruf,angka-angka dan simbulsimbul lain. (Somad,P. 2002:41) Jadi yang paling awal harus di lakukan adalah mengatasi kesulitan membacanya terlebih dahulu.
Kesulitan belajar membaca memerlukan perhatian yang serius, sehingga anak yang mengalami kesulitan belajar membaca dapat memahami mata pelajaran lain secara lancar. Penanganan kesulitan membaca harus dilakukan sejak tahap membaca permulaan. Pada tahap tersebut,belajar membaca menjadi sangat penting karena merupakan fondasi untuk belajar 58    membaca pada tahap lebih lanjut. Apalagi pada tahap ini anak mengalami kesulitan,maka akan berpengaruh pada belajar membaca selanjutnya. Seperti yang terjadi pada anak disleksia,mereka sangat memiliki banyak hambatan pada tahap membaca permulaan sehingga tidaklah mengherankan jika dia mendapatkan kesulitan memahami isi bacaan dan menemui kesulitan mengikuti tahap membaca lanjut, hal ini berdampak pada prestasi belajar.
Anak yang mengalami disleksia akan bisa menjadi baik, asalkan dibimbing dan dididik sebaik mungkin. Sebagai pembimbing dalam belajar mengajar diharapkan mampu untuk: 1) Memberikan berbagai informasi yang diperlukan dalam proses belajar mengajar/membantu siswa yang mengalami masalah-masalah dalam proses belajarnya; 2) Bisa mengevaluasi hasil setiap langkah kegiatan yang telah dilakukannya; 3) Diberi kesempatan yang memadai, agar setiap anak yang mengalami disleksia bisa belajar sesuai dengan karakteristik pribadinya; 4) Diberi bimbingan individu maupun kelompok.

A.    RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumusan masalah  sebagai berikut :
1.      Bagaimana peran guru terhadap perkembangan akademik anak disleksia di sd inklusi kota surabaya
2.      Apakah adanya bimbingan terhadap anak disleksia di SD Inklusi kota Surabaya  

B.     Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendiskripsikan peran guru terhadap perkembangan anak disleksia di SD Inklusi Kota Surabaya dan untuk mengetahui bagaimana peran Guru terhadap bimbingan anak disleksia di SD Inklusi Kota Surabaya.



C.     Manfaat Penelitian
Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu :
1.      Manfaat Teoritis
a.       Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman dan konstribusi dalam pengembangan ilmu pendidikan khususnya pendidikan bagi anak berkeebutuhan khusus.
b.      Memberikan bahan pertimbangan dan sebagai acuan bagi penelitian  lebih lanjut.

2.      Manfaat Praktis 
a.       Bagi Sekolah 
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai sumber pemikiran dalam  melaksanakan bimbingan dalam rangka meningkatkan prestasi siswa.
b.      Bagi guru  
1)      Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran dan acuan  dalam pelaksanaan bimbingan dalam rangka meningkatkan kinerja  guru.
2)      Sebagai masukan untuk melakukan bimbingan belajar membaca terhadap peserta didik yang mengalami kesulitan membaca. 
3)      Memberikan informasi tentang kesulitan yang di alami peserta didik disleksia
c.        Bagi siswa
1)      Hasil penelitian ini diharapkan dapat memudahkan siswa dalam melaksanakan tugasnya dengan baik.
2)      Meningkatkan motivasi belajar membaca siswa.
3)      Meningkatkam kemampuan membaca siswa disleksia
4)      Memudahkan siswa dalam menyelesaikan tugasnya dengan  baik.



BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Hakekat Peran Guru
1. Pengertian Peran
Peran adalah perilaku atau lembaga yang punya arti penting bagi struktur sosial. Dalam hal ini maka, kata peranan lebih banyak mengacu pada penyesuaian diri pada suatu proses. Menurut Poerwadarminta (2004 -734) peran adalah sesuatu yang jadi bagian atau yang memegang pimpinan yang terutama (dalam terjadinya sesuatu hal atau peristiwa).
Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa peran adalah tugas yang menjadi tanggung jawab seseorang melaksanakan sesuatu. Peran yang dimaksud adalah peran guru dalam mengembangkan disiplin anak.

2. Pengertian Guru
Pengertian guru menurut Undang-undang Guru dan Dosen adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UUD, 2006: 2). Pendapat senada dikemukakan Mulyasa (2003: 100) bahwa guru atau tenaga pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan melakukan pengabdian kepada masyarakat terutama pada pendidik di perguruan tinggi.
Pengertian guru berdasarkan Tut Wuri Handayani yaitu guru disebut pamong yang didefinisikan sebagai pemimpin yang berdiri dibelakang untuk tetap mempengaruhi dengan member kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri, dan tidak terus-menerus dicampur atau diperintah atau dipaksa (Rahmat dan Husain, 2012: 4). Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan paling penting dalam pendidikan formal pada umumnya karena bagi anak didik, guru sering dijadikan tokoh teladan bahkan menjadi tokoh identifikasi diri. Disekolah guru merupakan unsur yang sangat mempengaruhi tercapainya tujuan pendidikan selain unsur anak didik dan fasilitas lainnya. Keberadaan guru memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan pendidikan khususnya pendidikan anak.
Demikian pula Sukadi (2007: 9-10) mengemukakan bahwa guru dapat diartikan sebagai orang yang tugasnya mengajar, mendidik, dan melatih peserta didik, serta memenuhi kompetensi sebagai orang yang patut digugu dan ditiru dalam ucapan dan tingkah lakunya. Ini berarti seorang guru bukan saja bertugas mentransfer nilai gagasan kepada anak tetapi juga memiliki kemampuan profesional dan memiliki tingkah laku yang patut diikuti dan ditiru oleh anak didiknya. Dalam pengertian lain menurut Mulyasa (2006: 37) bahwa guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para peserta, dan lingkungannya.
Menurut Saondi dan Suherman (2010: 4) bahwa guru sebagai pekerja hanya berkemampuan yang meliputi pengusaan materi pelajaran, pprofesional keguruan dan pendidikan, penguasaan cara-cara menyesuaikan diri dan berkepribadian untuk melaksanakan tugasnya, disamping itu guru harus merupakan pribadi yang berkembang dan bersifat dinamis. Guru merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan yang mempunyai posisi strategis maka setiap usaha peningkatan mutu pendidikan perlu memberikan perhatian besar kepada peningkatan guru baik dalam segi jumlahnya maupun mutunya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa guru adalah seorang tenaga profesional dan terdidik yang memperoleh kepercayaan untuk melaksanakan tugas mendidik dan mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi anak didik setelah mengikuti proses pembelajaran di sekolah untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

3. Pengertian Peran Guru
Peran guru sangat vital bagi pembentukan kepribadian, cita-cita, dan visi misi yang menjadi impian hidup anak didiknya dimasa depan. Dibalik kesuksesan anak didik, selalu ada guru yang memberikan inspirasi dan motivasi besar pada dirinya sebagai sumber stamina dan energi untuk selalu belajar dan bergerak mengejar ketertinggalan, menggapai kemajuan, meorehkan prestasi spektakuler dan prestisius dalam panggung sejarah kehidupan manusia. Menurut Fakhruddin (2012: 35) bahwa salah atu peran guru adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam suatu tertentu, serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan anak menjadi tujuannya. Ini semua dilakukan oleh seorang guru dengan semangat dan jiwa ingin memberikan yang terbaik kepada anak-anak didiknya.
Untuk lebih memahami tentang peran guru, Asmani (2013: 39-54) menyebutkan beberapa peran guru antara lain:
a. Educator (pendidik)
Tugas pertama guru adalah mendidik murid-murid sesuai dengan materi pelajaran yang diberikan kepadanya. Sebagai seorang educator, ilmu adalah syarat utama. Membaca, menulis, berdiskusi, mengikuti informasi, dan responsif terhadap masalah kekinian sangat menunjang peningkatan kualitas pendidikan.
b. Leader (pemimpin)
Guru juga seorang pemimpin kelas. Karena itu, ia harus bisa menguasai, mengendalikan, dan mengarahkan kelas menuju tercapainya tujuan pembelajaran yang berkualitas. Sebagai seorang pemimpin, guru harus terbuka, demokratis, egaliter, dan menghindari cara-cara kekerasan. Seorang guru harus suka mengedepankan musyawarah dengan murid-muridnya untuk mencapai kesepakatan bersama yang dihargai semua pihak. Ia juga harus suka mendengar aspirasi murid-muridnya mengenai pembelajaran yang disampaikan.
c. Fasilitator
Sebagai fasilitator, guru bertugas memfasilitasi murid untuk menemukan dan mengembangkan bakatnya secara pesat. Menemukan bakat anak didik bukan persoalan mudah, ia membutuhkan eksperiementasi maksimal, latihan terus menrus, dan evaluasi rutin. Menurut Mulyasa (dalam Asmani, 2013: 42) guru sebagai fasilitator harus memiliki tujuah sikap sebagai berikut: 1) Tidak berlebihan mempertahankan pendapat dan keyakinannya atau urang terbuka 2) Dapat lebih mendengarkan anak didik, terutama tentang aspirasi dan perasaannya. 3) Mau dan mampu menerima ide anak didik yang inovatif, kreatif, bahkan bahkan yang sulit sekalipun. 4) Lebih meningkatkan perhatiannya terhadap hubungan dengan anak didik seperti halnya terhadap vahan pembelajaran. 5) Dapat menerima komentar balik (feadback), baik yang bersifat positif maupun negatif, dan menerimanya sebagai pandangan yang konstruktif terhadap diri dan perilakunya. 6) Toleran terhadap kesalahan yang diperbuat anak didik selama proses pembelajaran. 7) Menghargai anak didik meskipun biasanya mereka sudah tahu prestasi yang dicapainya.
d. Motivator
Sebagai seorang motivator, seorang guru harus mampu membangkitkan semangat da mengubur kelemahan anak didik bagaimanapun latar belakang hidup keluarganya. Bagaimanapun kelam masa lalunya, dan bagaimanapun berat tantantangannya. Sebagai seorang mativator, guru adalah psikolog yang diharapkan mampu menyelami psikologi anak didiknya, sehingga mengetahui kondisi lahir batinnya.
e. Administrator
Sebagai seorang guru, tugas administrasi sudah melekat dalam dirinya, dari mulai melamar menjadi guru, kemudian diterima dengan bukti surat keputusan yayasan atau kepala sekolah. Dalam mengajar, guru harus mengabsen terlebih dahulu, mengisi jurnal kelas dengan kelas dengan lengkap, mulai dari nama, materi yang disampaikan, kondisi anak didik dan tanda tangan.
f. Evaluator
Sebaik apapun kualitas pembelajaran, pasti ada kelemahan yang perlu dibenahi dan dismpernukan. Disinilah pentingnya evauasi seorang guru. Dalam evaluasi ini, guru bisa memakai banyak cara, dengan merenungkan sendiri proses pembelajaran yang diterapkan, meneliti kelemahan dan kelebihan, atau dengan cara yang lebih objektif, meminta pendapat orang lain, misalnya kepala seolah, guru yang lain dan muridnya.

B. Disleksia
1. Pengertian Disleksia
Disleksia berasal dari bah asa Yunani dyslexia, dys artinya tanpa, tidak adekuat atau kesulitan dan lexis/lexia artinya kata atau bahasa. Disleksia adalah salah satu karakteristik kesulitan belajar pada anak yang memiliki masalah dalam bahasa tertulis, oral, ekspresif atau reseptif (Lerner, 2000) Masalah yang muncul adalah anak mengalami kesulitan dalam membaca, mengeja,  menulis,  berbicara, dan mend engar. Disleksia adalah salah satu kelompok dalam kesulitan belajar spesifik. Disleksia bukanlah penyakit, disleksia tidak me miliki obat. Disleksia merupakan kesulitan belajar yang paling sering ditemukan dalam penelitian (Wenar dan Kerig, 20 06).
Disleksia atau kesulitan bahasa yang spesifik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan anak-anak dan orang dewasa dengan rata-rata atau kecerdasan di atas rata-rata yang memiliki kesulitan dalam membaca, menulis dan mengeja dan kadang matematika. Satu dari lima belas orang menderita disleksia.
Pengertian disleksia Menurut National Center for Learning Disabilities (2005), "Disleksia adalah ketidakmampuan belajar spesifik yang berasal dari faktor neurobiologis. Hal ini ditandai dengan kesulitan dengan pengenalan kata yang akurat dan / atau lancar dan kemampuan ejaan dan kemampuan memecahkan kode yang buruk. Kesulitan ini biasanya diakibatkan oleh ketidakmampuan komponen fonologis bahasa yang seringkali tak terduga dalam kaitannya dengan kemampuan kognitif lainnya dan pemberian pengajaran yang efektif. Konsekuensi sekunder mungkin mencakup masalah dalam pemahaman bacaan dan mengurangi pengalaman membaca yang dapat menghambat pertumbuhan kosakata dan pengetahuan. " ( Dikutip dari, Educator's Diagnostic Manual of Disabilities and Disorders, 2007)
Disleksia disebabkan ,oleh faktor neurobiologis yang mengganggu kemampuan anak untuk mengenal kata dan menginterpretasikan apa yang dilihat atau yang didengar (Cruickshank, 1986 dikutip oleh Lerner, 1989).  Jenis disleksia bergantung pada , proses mana yang terganggu (Lily Sidiarto, 1990:57).
Banyak ahli yang menge mukakan pe ngertian disleksia antara lain:
a.       Disleksia merujuk pada kesulitan membaca baik itu penglihatan atau pendengaran. Inteligensinya nor mal, dan usia keterampilan bahasanya sesuai. Kesulitan belajar tersebut akibat faktor neurologis dan bukan disebabkan oleh faktor eksternal, misalnya Iingkun gan atau sebab sebab sosial (Corsini dalam Imandala, 2009).
b.      Disleksia sebagai kesulitan membaca berat pada anak yang memiliki kecerdasan normal dan ber motivasi cukup, berlatar belakang budaya yang memadai dan berkesempatan me mperoleh pendidikan serta tidak bermasalah emosional (Guszak dalam Imandala, 200 9).
c.       Disleksia adalah suatu bentuk kesulitan dalam mempelajari komponen- komponen kata dan kalimat, yang secara historis menunjukan perkembangan bahasa yang lambat dan ha mpir selalu bermasalah dalam menulis dan mengeja serta kesulitan dalam me mpelajari sistem representasional misalnya berkena an den gan w aktu, arah, dan masa. (Bryan & Bryan; Mercer dalam Iman dala, 2009).
d.      Disleksia adalah bentuk kesulitan belaiar me mbaca dan menulis terutama belajar mengeja dengan benar dan mengungkapkan pikiran secara tertulis, memanf aatkan kesempatan bersekolah de ngan nor mal serta tidak memperlihatkan keterbelakangan dalam mata pelajaran- mata pelajaran lainnya ( Hornsby; Sodiq dalam Imandala, 2009).

Di antara sekian banyak definisi para ahli di atas, ada kesepakat an secara umum mengenai definisi dan penjelasannya yang dirumuskan ke dalam empat bagian ( Hynd dalam Lerner, 2000), yaitu:
a.       Disleksia me miliki dasar biologis dan dikarenakan kondisi  neurologis baw aan.
b.      Masalah disleksia bertahan sampai remaja dan dew asa.
c.       Disleksia memiliki dimensi perseptual, kognitif dan bahasa.
d.      Disleksia mengarah pada kesulitan di banyak area kehidupan sebagai individu dewasa.

2. Karakteristik Anak Disleksia
Karakteristik anak disleksia amat bervariasi, tergantung dari masalahny (Sodiq dalam Imandala, 20 09). Menurut Subini (2011), ciri-ciri anak  yang mengalami disleksia adalah sebagai berikut:
a.   Inakurasi dalam membaca seperti membaca lambat kata demi kata jika dibandingkan deng an anak seusianya, intonasi suara turun naik tidak teratur.
b.   Tidak       dapat   mengucapkan  irama   kata-kata         secara  benar   dan proposional.
c.   Sering terbalik dalam mengenali huruf dan kata, misalnya antara “kuda” dengan “daku”.
d.   Sering mengulangi dan menebak kata-kata atau frasa.
e.   Ketidakberaturan terhadap kata yang hanya sedikit perbedaannya misalnya “buah” dan “bau”.
f.   Kesulitan dalam memaha mi apa yang dibaca, dalam arti anak tidak mengerti isi cerita/teks yang dibacanya.
g.   Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata.
h.   Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukan nya menjadi sebuah kata.
i.   Sulit mengeja secara benar. Bahkan mungkin anak akan mengeja satu kata dengan ber macam ucapan.
j.   Membaca satu kata dengan benar di satu halaman, tapi salah di halaman yang lainnya.
k.   Sering terbalik dalam menuliskan atau mengucapkan kata. Misalnya, “kucing duduk di atas kursi” menjadi “kursi duduk di atas kucing”.
l.   Rancu dengan kata- kata yang singkat, misalnya “ke”. “dari”,” dan”, “jadi”.
m.  Lupa meletakkan titik dan tanda-tanda baca lainnya.

Bentuk-bentuk kesulitan membaca anak yang disleksia sebagai berikut (Subini, 2011):
a.    Melakukan pena mbahan dalam suku kata (addition), misalnya “batu” menjadi “baltu”.
b.    Menghilangkan huruf dalam suku kata (omission), misalnya “masak” menjadi “masa”.
c.    Membalikan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik kiri kanan (inversion/mirroring), misalnya “dadu” menjadi “babu”.
d.    Membalikan bentuk huruf, kata, atau angka dengan arah  terbalik atas bawah (reversal) misalnya “papa” menjadi “qaqa”.
e.    Mengganti huruf atau angka (substitutionmisalnya “lupa” menjadi “luga”, “3” menjadi “8”.

Disleksia ter masuk salah satu karakteristik yang dimiliki oleh anak kesulitan belajar dan masuk  dalam  kategori  masalah  prestasi  akade mis  (Hallahan  dan Kauf man dalam Mangunsong, 20 09). Masalahnya dibagi dalam tiga aspek, aspek yang pertama adalah decoding atau mengalami kesulitan dalam mengubah bahasa tulisan menjadi bahasa lisan, misalnya kesulitan dalam menyebutkan  huruf-huruf yang membentuk kata topi, yaitu t,o,p, dan i. Aspek yang kedua adalah kelancaran (fluency atau reading fluency), reading fluency adalah kemampuan untuk menge nali kata de mi kata deng an cepat, membaca kalimat atau wacana yang lebih panjang, dan dapat dengan mudah menghu bungkannya. Kemampuan ini mengindikasikan bahwanak mengerti materinya. Aspek yang ketiga adalah memaha mi arti bacaan (comprehension).

 

3. Faktor Penyebab/Etiologi

Penyebab disleksia dilihat dari konteks biologis, faktor-faktornya sebagai berikut:
1.  Faktor genetik atau keturunan. Penelitian yang dilakukan oleh  Grigorenko menghasilkan 20-65 % anak yang disleksia juga memiliki yang orang tua yang mengalami kesulitan membaca (Wenar & Kerig, 2006).
2.  Masalah dalam migrasi neuron/ saraf, penelitian oleh  Simos menunjukkan bahw anak disleksia memiliki pola aktivitas yang berbeda dengan anak normal, anak nor mal menggunakan hemisfer  kiri sedangkan anak disleksia hemisfer kanan (Wenar & Kerig, 2006). Ada juga kerusakan akibat hipoksi- iskemik saat prenatal di daerah parieto- temporo-oksipital yakni lobus-lobus dalam otak.
3.  Pengaruh hormonal prenatal seperti testosteron.


BAB III
METODE PENELITIAN
A.                 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti akan memamparkan atau mendeskripsikan tentang peran guru dalam membimbing siswa Disleksia di SD Inklusi III Surabaya.
B.                  Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2017 semester ganjil tahun ajaran 2017/2018 dan bertempat di peran guru dalam membimbing siswa Disleksia di SD Inklusi III Surabaya. Adapun jadwal penelitiannya sebagai berikut:
Tabel 3.1
Jadwal Penelitian
NO.
Tanggal
Kegiatan
1.
3 Agustus 2017
Permohonan Izin
2.
10 Agustus – 20 September 2017
Pelaksanaan Assesmen dan observasi terhadap siswa
3.
21 September -30 Septembr 2017
Pelaksanaan observasi terhadap guru dan staf sekolah

C.                  Subjek Penelitian
SDN Inklusi III Surabaya memiliki beberapa siswa disleksia dimana 2orang termasuk tunaganda. Dalam penelitian ini, peneliti memilih dua subjek disleksia sebagai subjek penelitian. Adapun alasan memilih dua subjek ini ialah karena subjek memiliki kemampuan akademik lebih tinggi dari siswa disleksia yang lain, pertimbangan dari guru kelas, dan lebih mudah untuk diajak berinteraksi.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih dua siswa disleksia sebagai subjek penelitian yaitu S1 dan S2. Dimana dua siswa tersebut berasal dari kelas tunagrahita sedang III. Berikut adalah data subjek penelitian S1 dan S2:


1.      Subjek S1
Nama                                       : X
Jenis Kelamin                          : Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir            : Sidoarjo, 02 Desember 1999
Alamat                                    : Jl. Raya Rungkut No.10
Umur                                       : 12
Hambatan Fisik                       : - Cacat Inderawi : -
Ciri Khusus                             : Tidak dapat membaca dan menulis
Hobi                                        : Olahraga dan Mewarnai
Cita-cita                                  : - Urutan
Kelahiran                                 : Anak ke-2 dari 3 Bersaudara
Secara fisik keadaan subjek S1 tidak menunjukkan kelainan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan teman-temannya, namun dia mengalami kesulitan dalam membaca, menulis (jika didekte/menulis tanpa melihat contoh kata atau kalimat), dan berbicara dengan tutur bahasa yang kurang teratur. Dari data diri siswa, keadaan ini kemungkinan dapat disebabkan karena usia kandungan melebihi usia kandungan pada umumnya (postmature) dan melalui proses caesar, asupan gizi yang harusnya didapat dari ASI hanya bisa dia dapat selama 7 hari sehingga mengakibatkan kurangnya asupan gizi. Hal tersebut terjadi dikarenakan subjek S1 sejak lahir sampai usia lima tahun mengalami kesulitan untuk menelan makanan sehinggga hanya dapat mengonsumsi susu formula.
Subjek S1 merupakan siswa yang aktif, hal tersebut dibuktikan dengan berbagai kegiatan yang ia ikuti di luar kegiatan sekolah, yaitu sekolah bola, les bulutangkis, dan les melukis (2014-2015).

2.      Subjek S2
Nama                                       : Y
Jenis Kelamin                          : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir            : Sidoarjo, 01 April 2004
Alamat                                    : Warugunung RT 03 RW 03 Karang PilangSurabaya
Hambatan Fisik                       : -
Ciri Khusus                             : menulis beberapa huruf dengan terbalik
Hobi                                        : Bernyanyi
Cita-cita                                  : Guru
Urutan Kelahiran : Anak ke-2 dari 2
Bersaudara Secara fisik keadaan subjek S2 memang tampak normal, tetapi dia mengalami kesulitan dalam membaca dan menulis (jika didekte/menulis tanpa melihat contoh kata atau kalimat). Dari data diri siswa, keadaan ini kemungkinan dapat disebabkan karena ketika masih dalam kandungan subjek S2 pernah berusaha untuk digugurkan. Disisi lain, subjek S2 merupakan pribadi yang kurang bisa mengendalikan emosi atau pemarah. Subjek S2 juga sering mengalami kejang, dimana hal tersebut juga dapat menyebabkan terjadinya masalah pada otak.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dan keterangan dari guru kelas, subjek S2 merupakan siswa yang sangat aktif, mandiri, dan bertanggungjawab. Hal tersebut terlihat dari buku kegiatan siswa yang setiap hari harus diisi oleh orangtua masing-masing siswa. Namun, subjek S2 mengalami beberapa keadaan yang terdapat pada karakteristik disleksia yaitu membaca kata per kata, membaca lamban, sering membolak-balik huruf atau kata-kata (lan dibaca lau; rap dibaca par) sering menebak dan mengulangi kata-kata, kesulitan menyimpan informasi dalam memori.
D.                 Teknik Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut:
1.      Metode tes
Metode tes ini dilakukan untuk mengetahui jawaban singkat siswa setelah diberikan soal matematika yang diselesaikan menggunakan strategi mental computation. Tes ini tidak dilakukan secara bersamaan untuk dua subjek, melainkan dilakukan secara satu per satu. Setelah subjek diberikan soal matematika, subjek langsung diwawancarai mengenai strategi yang digunakan untuk menyelesaikan soal yang telah diberikan.
2.      Metode wawancara
Metode wawancara dilakukan untuk mengetahui strategi mental computation yang digunakan oleh siswa. Metode wawancara yang digunakan adalah metode wawancara baku terbuka. Pengertian baku menunjukkan bahwa urutan materi yang ditanyakan dan cara penyajian sama untuk setiap subjek penelitian, sedangkan pengertian terbuka adalah adanya keluwesan pertanyaan tergantung pada situasi dan kecakapan pewawancara. Wawancara ini dilakukan secara mendalam sampai didapat data atau informasi yang diinginkan. Dalam hal ini peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut: (1) menyiapkan alat perekam yaitu handphone dan alat tulis, (2) meminta siswa menyelesaikan soal matematika, (3) melakukan wawancara dan membuat catatan-catatan yang tidak bisa dideteksi oleh alat perekam.
E.                  Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah lembar soal matematika dan lembar pedoman wawancara.
1.      Lembar soal matematika
Soal matematika yang diberikan pada penelitian ini berupa soal matematika jawaban singkat. Soal matematika yang diberikan terdiri dari enam soal yang berkaitan dengan operasi perhitungan penjumlahan dan pengurangan.
Untuk menghasilkan soal matematika yang valid dan sesuai dengan tujuan penelitian, maka peneliti akan melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) membuat draf soal matematika dan jawabannya, (2) mengonsultasikan draf soal matematika dan jawaban kepada dosen pembimbing, jika disetujui maka dilanjutkan untuk divalidasi oleh validator. (3) meminta validasi kepada dosen Pendidikan Matematika dan guru SLB AL Chusnaini Sukodono agar didapatkan instrumen penelitian yang relevan dan valid.
Instrumen ini divalidasi oleh tiga validator, berikut nama-nama validator instrumen penelitian ini.
Tabel 3.2
Daftar Validator Instrumen Penelitian
No.
Nama Validator
Jabatan
1.       
Ibu
Dosen Penddikan Luar Biasa
2.
Bapak
Dosen Penddikan Luar Biasa
3.
Ibu
Kepala Sekolah SDN Inklusi III Surabaya


Adapun lembar instrumen, dan lembar validasi dapat dilihat pada lampiran B dan lampiran C.
2.      Lembar pedoman wawancara
Pedoman wawancara berisi pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan peneliti untuk mengetahui strategi mental computation. Pedoman wawancara berisi pertanyaanpertanyaan yang ditanyakan peneliti untuk memperkuat hasil dari pengumpulan data yang dilakukan dengan metode tes. Pertanyaan disusun secara semi terstruktur dan diajukan kepada subjek penelitian setelah subjek menyelesaikan soal matematika. Sebelum instrumen digunakan, terlebih dahulu instrumen dikonsultasikan kepada dosen pembimbing dan divalidasi oleh dua dosen Pendidikan Matematika dan guru SLB Bina Bangsa Ngelom Sepanjang. Validasi bertujuan untuk mengetahui apakah instrumen sudah layak digunakan atau belum untuk mengungkap strategi mental computation siswa.
Adapun lembar pedoman wawancara dan lembar validasi dapat dilihat pada lampiran B dan lampiran C.

F.                   Keabsahan Data
Sebelum dianalisis, terlebih dahulu data hasil wawancara diperiksa keabsahannya melalui triangulasi. Triangulasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah triangulasi waktu, yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu yang berbeda. Pada tahap ini, data yang diperoleh dari pengambilan data pertama akan dibandingkan dengan data dari hasil pengambilan data kedua dan 45 juga pengambilan data ketiga. Sehingga kemudian dapat disimpulkan kevalidan data hasil penelitian.
G.                 Teknik dan Analisis Data
Analisis data adalah proses pengolahan data yang mencakup kegiatan mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar yang akhirnya didapatkan suatu kesimpulan. Pada penelitian ini, data yang sudah terkumpul selanjutnya dianalisis seperti paparan berikut ini:
1.      Analisis Hasil Wawancara
Adapun lagkah-langkah analisis hasil wawancara sebagai berikut:
a.       Mereduksi data
Mereduksi data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) memutar hasil rekaman beberapa kali agar peneliti dapat menuliskan jawaban subjek dengan tepat, (2) mentranskrip hasil wawancara subjek penelitian yang telah diberi kode berbeda setiap subjeknya dengan memperhatikan beberapa catatan pada saat wawancara. Adapun cara pengkodean dalam wawancara disusun sebagai berikut:
Keterangan:     P : Pewawancara
S : Subjek penelitian
P/Sa.b.c  :        a : Subjek ke-a
            b : Soal tes ke-b
c : Pertanyaan/ jawaban wawancara ke-c
(3) memeriksa kembali hasil transkrip wawancara tersebut dengan memutar ulang hasil rekaman dan mendengarkan jawaban-jawaban subjek saat wawancara berlangsung, agar mengurangi kesalahan pada penulisan transkip.
b.      Memaparkan data
Memaparkan data pada penelitian ini disajikan dengan menampilkan hasil transkip wawancara dan hasil strategi mental computation yang telah dituliskan oleh subjek penelitian setelah dilakukan wawancara yang 46 selanjutnya dianalisis. Analisis data mengenai strategi mental computation didasarkan atas hasil wawancara yang telah dijelaskan pada kajian pustaka. Dalam memaparkan data hasil transkrip wawancara, peneliti memaparkan data berdasarkan tiap subjek penelitian pada pengambilan data pertama, kedua, dan ketiga.
c.       Menarik kesimpulan
Adapun proses penarikan kesimpulannya ialah profil mental computation siswa dalam menyelesaikan soal matematika dilihat dari hasil jawaban siswa yang tertera pada hasil wawancara. Kemudian dari hasil transkrip wawancara tersebut dianalisis untuk melihat jenis strategi apa yang digunakan oleh siswa disleksia seperti yang dijelaskan pada bab kajian pustaka. Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan cara melihat semua strategi mental computation yang digunakan oleh setiap subjek pada setiap operasi dalam menyelesaikan soal matematika yang diberikan.
H.                 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang dilaksanakan meliputi tiga tahap yaitu: tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap analisis data. Masing-masing tahap akan diuraikan sebagai berikut:
1.      Tahap persiapan, kegiatan yang dilakukan pada tahap ini meliputi: (1) menetukan sekolah yang akan dijadikan sebagai tempat penelitian, (2) meminta izin kepada Kepala Sekolah SLB Bina Bangsa Ngelom Sepanjang, (3) membuat kesepakatan dengan guru SLB Bina Bangsa Ngelom Sepanjang mengenai waktu dan subjek yang akan digunakan dalam penelitian, (4) menyusun instrumen penelitian berupa soal matematika dan pedoman wawancara. (5) melakukan validasi instrumen yang telah dibuat kepada dua Dosen Pendidikan matematika dan seorang guru SLB Al Chusnaini Sukodono.
2.      Tahap pelaksanaan, kegiatan yang dilakukan pada tahap ini meliputi: (1) memilih subjek penelitian, (2) memberikan soal matematika kepada subjek penelitian sekaligus mewawancarainya. 47
3.      Tahap analisis data, setelah tahap pelaksanaan selesai dilaksanakan, maka langkah selanjutnya adalah tahap analisis data. Data yang diperoleh dari tahap pelaksanaan, selanjutnya dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Dalam hal ini, data yang dianalisis adalah data hasil wawancara pada saat subjek diberikan soal matematika.


 ----------------------------------------------Resume jurnal-----------------------------------------------


Jurnal 1 : Jurnal 1
Resume Jurnal 1 : Learning Disabilities (LDs) mengacu pada berbagai gangguan berbasis neurologis yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengingat, memahami, mengingat atau mengungkapkan informasi. Ketidakmampuan Belajar adalah bentuk kecacatan yang paling umum untuk anak-anak berusia 5 sampai 14 tahun dan di Kanada, LD diperkirakan mempengaruhi lebih dari tiga juta orang Kanada (Statistik Kanada, 2006). Ketidakmampuan seumur hidup dan universal, LDs dapat memiliki dampak negatif pada fungsi akademik, fungsi sosial dan tugas sehari-hari. Selain itu, memiliki LD dikaitkan dengan peningkatan risiko masalah kesehatan mental termasuk kecemasan, depresi dan tingkat kepercayaan diri yang lebih rendah. Dalam buklet ini, kami telah menggariskan proses kognitif spesifik yang dapat dipengaruhi oleh LD, seperti pemrosesan fonologis, memori atau kecepatan pemrosesan, misalnya. Namun, setiap anak dengan LD memiliki profil kekuatan dan tantangannya sendiri. Seringkali, ada interaksi antara proses yang membuat setiap orang unik. Misalnya, seseorang yang LD-nya mencerminkan masalah memori kerja dan kecepatan pemrosesan yang lambat dapat mengalami masalah dalam menjaga informasi dalam pikiran (memori kerja) cukup lama untuk memahaminya (kecepatan pemrosesan) dan akhirnya bisa merasa kelebihan beban dan kewalahan.
               Salah satu strategi yang paling efektif untuk orang dengan LD adalah pengetahuan: Memahami kemampuan seseorang memungkinkan seseorang memaksimalkan area kekuatan dan untuk memberi kompensasi pada area tantangan. Selama dekade terakhir, kemajuan teknologi penelitian telah memberi kita pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana otak bekerja. Kita juga belajar dari pengalaman anak-anak dengan LD dan keluarga mereka. 
               Strategi untuk Membantu Kesulitan Berfungsi Eksekutif
a.       Pecahkan tugas dan rutinitas menjadi beberapa langkah. Misalnya, bersiap-siap untuk sarapan melibatkan langkah-langkah berikut:
·Keluar dari tempat tidur
·Membuat tempat tidur
·Mencuci wajah, menyikat gigi
·berpakaian, menyisir rambut
·Pergi ke dapur, dll.
b.      Garis besar langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan proyek atau tugas, dan bantu anak merencanakan bagaimana dan kapan melakukan setiap langkah.
c.       Diskusikan sejumlah pendekatan alternatif terhadap masalah dan tinjau pro dan kontra dari setiap pendekatan.
d.      Siapkan individu di depan waktu untuk perubahan.
e.       Mengatasi masalah yang sama dan menggunakan pendekatan serupa di semua setting (misalnya di rumah dan di sekolah) untuk mencapai generalisasi terbaik
f.       Menyediakan lebih banyak pengawasan kegiatan orang dewasa daripada yang diharapkan pada usianya

Jurnal 2 : Jurnal 2
Resume Jurnal 2 : Strategi pembelajaran adalah teknik yang memaksimalkan kekuatan siswa dan memberikan struktur yang memungkinkan siswa untuk belajar lebih efektif. Beberapa contoh strategi pembelajaran meliputi penggunaan organizer grafis atau advance, software bantu, latihan mental dan teknik visualisasi. Banyak siswa dengan kemampuan belajar menunjukkan kecenderungan untuk mengelompokkan pembelajaran mereka; Oleh karena itu, mereka sering membutuhkan bimbingan dalam mengintegrasikan strategi secara luas di berbagai situasi. Grafik ini menunjukkan beberapa aspek penting pembelajaran yang dapat ditingkatkan dengan menerapkan strategi pembelajaran yang efektif.

 

Menyediakan struktur kelas yang mengakomodasi berbagai pembelajaran
kekuatan dan kebutuhan:
         Memodelkan dan menyediakan praktik untuk meminta klarifikasi dan permintaan membantu, untuk memungkinkan siswa melampaui "terjebak"
         Dimulai dengan kekuatan saat mengevaluasi, dan pembekalan dengan siswa setelahnya penilaian
         mengenali kemajuan secara eksplisit, dengan grafik atau mencatat kemajuan, pengaturan tujuan, atau perencanaan dan pencapaian tracking merayakan kesuksesan
         Memberikan teladan positif dan pengalaman dengan percaya, dan hormat, orang dewasa
         Memodelkan pemecahan masalah dan membahas masalah produktif dan tidak produktif
·         strategi
         mendorong evaluasi diri sebagai bagian dari proses menyediakan rutinitas yang konsisten, aturan yang jelas dan mudah dimengerti, logis konsekuensi
.

Jurnal 3 : Jurnal 3
Resume Jurnal 3 : Ketika memperoleh informasi tentang pembelajaran siswa, penting bahwa kekuatan, kelemahan dan preferensi belajar mereka di identifikasikan. Hal ini juga diperlukan untuk mengidentifikasi apakah mereka menderita disleksia dan melakukan hal ini lebih baik memiliki alasan dan strategi untuk penilaian. Pengamatan adalah titik awal yang baik karena dapat memberi petunjuk pada tantangan dan kekuatan siswa dan dapat menunjukkan penilaian lebih lanjut jika perlu.
Informasi yang diperoleh dari pengamatan dan penilaian lebih lanjut perlu dikontekstualisasikan dan diubah menjadi pembelajaran. Dari sini, hambatan yang harus dipelajari bagi siswa itu dapat dicatat. Yang penting langkah selanjutnya adalah menyoroti bagaimana ini Hambatan bisa diatasi. 8 faktor yang perlu dipertimbangkan
1.      Kekuatan dan kelemahan khusus pembelajar.
2.      Tingkat kinerja pelajar saat ini dalam pencapaian.
3.      Penjelasan untuk kekurangan peserta didik.
4.      'Pola kesalahan' dicatat dalam membaca, menulis dan mengeja.
5.      Gaya belajar siswa dan preferensi belajar.
6.      Bidang kurikulum yang mungkin menarik minat dan motivasi peserta didik.
7.      Tentukan aspek kurikulum yang menantang bagi pelajar.
8.      Tingkat self-esteem pembelajar.
Penting untuk dicatat bahwa disleksia dan memang profi pembelajaran seharusnya tidak hanya terjadi diidentifikasi melalui penggunaan tes atau tes. Penilaian dan identifikasi disleksia adalah sebuah proses dan 'proses' itu melibatkan lebih dari sekadar administrasi sebuah ujian atau kelompok tes Selain mencatat kekuatan siswa, identifikasi juga harus dilakukan pertimbangkan tiga aspek khususnya, kesulitan, perbedaan dan perbedaan, dan ini harus berhubungan dengan lingkungan kelas, perbedaan budaya, dan kurikulum sebagai Begitu pula dengan preferensi belajar siswa. Oleh karena itu penilaian perlu pertimbangkan tugas dan kurikulum serta lingkungan belajar dan pembelajaran pengalaman.
Penting untuk memastikan bahwa proses penilaian dan hasil dari setiap tes yang digunakan dikontekstualisasikan sehubungan dengan kurikulum dan sifat situasi pembelajaran anak. Terkadang faktor di dalam kelas dan materi yang digunakan dapat menjelaskan kesulitan yang dihadapi anak-anak seperti atribut anak-anak.
Came dan Reid (2008) menangani masalah penilaian keaksaraan dari pandangan untuk mengidentifikasi kepedulian dan pemberdayaan guru agar dapat melakukan hal ini. Dalam publikasi mereka Kepedulian, Kaji, Berikan (CAP) Semuanya (Datang dan Kembali 2008), penulis menyediakan berbagai materi yang dapat digunakan dalam konteks kelas dan fokus langsung pada karya siswa saat ini. Mereka mengajukan pertanyaan kunci 'Apa itu keaksaraan?' Dan menyarankan agar jawaban atas pertanyaan tersebut akan menentukan pemilihan informasi untuk melakukan penilaian.
Ini Bisa berarti menyikapi aspek fungsional dari keaksaraan (teknis) atau tujuan melek huruf (meaning). Salah satu aspek penting dari hal ini adalah memiliki mekanisme pemantauan yang efektif dan efisien untuk memastikan bahwa semua aspek proses pembacaannya dialamatkan Tidak seperti beberapa tes lainnya, tes ini mencakup penilaian pemahaman inferential anak tentang teks dan juga makna harfiah dari bagian tersebut. Mengidentifikasi kesimpulan dalam teks merupakan elemen penting untuk mengembangkan ketrampilan berpikir dan pemrosesan orde tinggi dan sangat penting bagi anak-anak dengan disleksia sesering fokus utama mereka cenderung menguasai sub-keterampilan membaca dan makna inferensial dari anak-anak. teks terkadang hilang. Hal ini juga dapat menyebabkan pengembangan penilaian diri dan keterampilan metakognitif seperti yang ditunjukkan di awal bab ini. Proses yang ditunjukkan oleh Came dan Reid ditunjukkan di bawah pada Menilai kemampuan membaca dan keterampilan (dari Came dan Reid 2008)
1.      Informasi latar belakang: ringkasan informasi terkait bacaan murid berdasarkan pada sejumlah tes prestasi standar, kriteria tes yang direferensikan, dan tes akhir dari buku dasar. Status pembacaan murid saat ini ditunjukkan, seperti juga bantuan pelengkap yang dia terima.
2.      Tujuan rujukan: sinopsis dari alasan untuk meminta evaluasi diagnostik. Termasuk adalah komentar tentang masalah membaca khusus yang diungkapkan oleh guru kelas, personil sumber daya, psikolog sekolah, orang tua, dll.
3.      Pengujian: deskripsi singkat tentang perilaku murid dan sikap yang ditunjukkan selama pengujian baterai, dan bidang pembacaan spesifik yang diuji.
4.      Ringkasan Diagnostik: penjelasan tentang hasil tes yang diberikan pada setiap bidang keterampilan membaca:
a.       Keterampilan emergensi / kesiapan: Cek untuk: keterampilan membaca awal. Defisiensi menunjukkan: kesulitan memahami dan mengikuti petunjuk.
b.      Keterampilan pendengaran: Pemeriksaan: mendengar dan mengingat suara dengan kata-kata.
b.      Defisiensi menunjukkan: kesulitan memahami dan mengikuti petunjuk lisan, instruksi, diskusi kelas, dan membangun hubungan suara / simbol
c.       diperlukan untuk instruksi phonic.
a.       Keterampilan Visual: Cek untuk: melihat dan mengingat materi cetak atau tulisan. Defisiensi menunjukkan: kesulitan mengingat huruf dalam kata-kata - akibatnya menulis kata-kata dengan huruf terbalik atau campur aduk atau melihat kata-kata salah untuk decoding.
b.      Keterampilan pengenal kata: Cek untuk: mengenali dan menerapkan suaranya
d.      untuk simbol, seperti generalisasi fonetik dan prinsip-prinsip silabus.
e.       Defisiensi menunjukkan: kesulitan membaca dengan lancar, dengan banyak salah tafsir.
a.       Pengembangan bahasa dan kosa kata: Memeriksa: memahami dan mengekspresikan bahasa yang memadai dan konsep kata-kata tertulis. Defisiensi menunjukkan: kesulitan memahami materi tertulis dan instruksi di kelas.
b.      Membaca / memahami lisan: hecks untuk: kemampuan decoding, ketampanan, akurasi, dan pemahaman. Membaca / Pemahaman Diam: Cek untuk: pemahaman kosakata dan pemahaman. Mendengarkan Pemahaman: Cek untuk: memproses informasi yang disajikan secara lisan dan membandingkan mendengarkan kemampuan membaca lisan / pendengaran
5.      Interpretasi diagnosis: pendapat penguji tentang apa yang mungkin menghalangi pertumbuhan membaca murid - kelemahan membaca dan kekuatan guru harus mempertimbangkan dalam menyesuaikan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan siswa.
kebutuhan.
6.      Tujuan pembelajaran: daftar sasaran yang ringkas yang telah dirancang tester untuk memperbaiki pembelajaran murid untuk dibaca.
7.      Rekomendasi pengajar: saran dan metode khusus untuk membantu memberikan instruksi yang tepat agar murid dapat mencapai tujuannya.
8.      Kegiatan belajar: saran yang dirancang untuk membantu Anda memahami dan membantu siswa dalam menghadapi tantangan.

Jurnal 4 : Jurnal 4
Resume Jurnal 4 : Beberapa peneliti berpendapat bahwa kecerdasan dapat mempengaruhi respons individu terhadap intervensi dan kecerdasan umum, atau "g", adalah prediktor yang baik untuk banyak hasil kehidupan. Model alternatif tapi serupa yang disebut Component Model of Reading telah diusulkan Persamaan R = D × L menggantikan IQ dengan listening comprehension (L) untuk menentukan apakah seorang siswa memiliki defisit dalam membaca decoding (D) atau reading comprehension (R). Proses psikologis, atau kognitif, telah diajukan untuk mendasari LD, namun tidak ada konsepsi yang jelas mengenai proses apa adanya.
Konfrensi ulang 2004 tentang Individu dengan Disabilities Education Act (IDEA) menetapkan bahwa penggunaan proses RTI harus diperbolehkan. RTI umumnya terdiri dari tiga tingkatan:
·         Tingkat 1: Instruksi dan penilaian kelas secara keseluruhan dilakukan.
·         Tingkat 2: Siswa yang tidak menanggapi instruksi umum menerima intervensi tambahan dan pemantauan kemajuan.
·         Tingkat 3: Siswa yang terus menunjukkan respon yang tidak memadai menerima instruksi dibedakan lebih intensif dan kemungkinan rujukan pendidikan khusus.
Pendekatan pemecahan masalah menggunakan intervensi yang lebih intensif, sedangkan pendekatan validitas pengobatan dan pendekatan protokol standar lebih berfokus pada pengajaran berkualitas di lingkungan pendidikan umum. Pengukuran berbasis kurikulum, yang dikembangkan berdasarkan tujuan kurikulum tertentu, biasanya digunakan dalam proses RTI untuk mengukur kemajuan siswa dari waktu ke waktu.
Manfaat RTI mencakup akses awal terhadap intervensi untuk semua siswa yang berjuang, kemampuan untuk membedakan antara pengajaran yang buruk dan kesulitan belajar, dan kurangnya gender dan bias ras dalam identifikasi. Penggunaan kelompok norma yang berbeda dalam gabungan CBM, berbagai indikator respon, dan pendekatan pengobatan yang berbeda menyebabkan variabilitas dalam identifikasi. dari nonresponders, atau siswa akhirnya diklasifikasikan memiliki LD. Keuntungan yang dilakukan dalam intervensi intensif yang umum dilakukan dalam protokol pengobatan standar sepertinya tidak akan dipertahankan saat kembali ke lingkungan pendidikan reguler. Penelitian telah mengidentifikasi beberapa kesamaan antara nonresponders kecuali kesadaran fonologis dan pencapaian yang sangat rendah dan nilai kognitif.
Beberapa peneliti di lapangan berpendapat bahwa cara yang paling akurat untuk mengidentifikasi individu yang memiliki LD didasarkan pada pencapaian yang dapat diamati dan obyektif skor data. Model penelitian yang dipresentasikan mengusulkan penggabungan model prestasi rendah dengan gangguan fungsional. Kerusakan fungsional adalah persyaratan standar untuk diagnosis cacat dan merupakan konsep yang lebih luas daripada tingkat keparahan. Penggunaan gangguan fungsional cenderung mengurangi identifikasi orang berprestasi yang relatif miskin dan melestarikan sumber daya untuk orang miskin yang berprestasi buruk. Individu yang dianggap berbakat dengan nilai prestasi rata-rata atau di atas dan yang dianggap sebagai pembelajar yang lamban dengan nilai prestasi rendah di mata pelajaran akademis tidak akan diidentifikasi memiliki LD dalam model seperti itu. Kerusakan fungsional dapat dianggap setara dengan fungsi adaptif.
Penelitian saat ini menggunakan analisis kelas laten untuk mengidentifikasi kelompok dengan prestasi rendah dengan penurunan fungsional terkait untuk menentukan kisaran skor pemotongan yang bermakna untuk digunakan dalam model penilaian penurunan LD yang rendah. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan skor potong mendekati persentil ke 25 seperti yang direkomendasikan oleh Siegel (1999). Rentang skor pemotongan yang lebih tinggi dari perkiraan ini juga cenderung mengidentifikasi siswa berisiko. Skor potong yang berbeda mungkin diperlukan untuk identifikasi yang akurat pada tingkat kelas yang berbeda. Penelitian di masa depan harus mencakup sampel besar dengan beberapa ukuran gangguan fungsional, setidaknya dua tes prestasi normatif yang diberikan secara individual, dan penggunaan RTI untuk menyingkirkan penjelasan alternatif untuk masalah belajar. Praktik terbaik harus mencakup RTI untuk menyingkirkan penjelasan yang bersaing dan memberikan remediasi, pendekatan pencapaian rendah dengan setidaknya dua tes prestasi akademik, pertimbangan gangguan fungsional, dan jika perlu untuk akomodasi. keputusan, penggunaan penelitian yang didukung penilaian kognitif.


Jurnal 5 : Jurnal 5
Resume Jurnal 5 : Ada berbagai deskripsi yang saat ini digunakan untuk menggambarkan disleksia. Banyak dari ini telah diubah menjadi definisi formal. Sebagian besar definisi, bagaimanapun, mencakup aspek-aspek berikut:
·         Penyebab neurologis dan genetik disleksia Perbedaan karakteristik yang terkait dengan disleksia, seperti fonologis, visual dan auditori pengolahan diffi culties
·         Karakteristik terkait disleksia - diffi culties yang berkaitan dengan
·         memori, manajemen waktu, kecepatan pemrosesan, organisasi, dan sekuensing dan perencanaan
·         Kebutuhan akan pembelajaran yang berlebihan dan pengajaran khusus dan spesifik pendekatan
·         Tumpang tindih dengan kondisi lain seperti dyspraxia, dyscalculia dan ADHD.
 
Misalnya, defisit definisi British Dyslexia Association (BDA) mencakup pengikut. Disleksia:
·         adalah pembelajaran yang spesifik
·         terutama mempengaruhi membaca dan mengeja
·         ditandai oleh perbedaan dalam memproses kata-suara
·         adalah kelemahan dalam ingatan verbal jangka pendek
·         Dapat dicatat dalam bahasa lisan maupun bahasa tulisan
·         terkait dengan perbedaan genetik.
Reid (2009) mengembangkan definisi berikut. Disleksia adalah pengolahan Perbedaan yang ditandai dengan kesulitan dalam melek huruf dan
·         Hal ini dapat mempengaruhi kognisi, seperti memori, kecepatan pemrosesan, manajemen waktu, koordinasi dan aspek terarah
·         Ini bisa melibatkan perbedaan visual dan fonologis
·         Biasanya ada perbedaan dalam pertunjukan
·         Penting agar perbedaan individu dan gaya belajar diakui
·         Konteks pembelajaran dan pekerjaan harus diakui juga.
Poin terakhir ini sangat penting karena menunjukkan bahwa pembelajaran lingkungan dan sifat tugas dapat memiliki pengaruh besar pada Hasilnya bagi penderita disleksia.
Ada sejumlah karakteristik utama disleksia yang penting untuk identifikasi dan penilaian, termasuk membaca, menulis dan mengeja kesulitan. Misalnya, cukup sering, membaca miskin (decoding) kontras Dengan pemahaman yang baik bisa menjadi indikator disleksia.





2. Pendidikan Bahasa Indonesia Bagi ABK-------------------------------------------------------------------




-------------------------------------------------Resume RPS----------------------------------------------------



A.    PERTEMUAN I : TEORI BELAJAR
1.      Teori Behavioristik
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Prinsip-Prinsip dalam Teori Behavioristik
a.       Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari jiwa atau mental yang abstrak.
b.      Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem untuk sciene, harus dihindari.
c.       Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior, adalah satu-satunya subyek yang sah dari ilmu psikologi yang benar.
d.      Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi oleh para behaviorist dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan akhirnya pandangan behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor internal juga, meskipun fokus pada overt behavior tetap terjadi.
e.       Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan bersifat positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi.
2.      Teori Nativisme
Istilah nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat. Bahwa setiap manusia dilahirkan sudah memiliki bakat untuk memperoleh dan belajar bahasa. Teori tentang bakat bahasa itu memperoleh dukungan dari berbagai sisi. Eric Lenneberg (1967) membuat proposisi bahwa bahasa itu merupakan perilaku khusus manusia dan bahwa cara pemahaman tertentu, pengkategorian kemampuan, dan mekanisme bahasa yang lain yang berhubungan ditentukan secara biologis.
Chomsky dalam Hadley (1993: 48) yang merupakan tokoh utama golongan ini mengatakan bahwasannya hanya manusialah satu-satunya makhluk Tuhan yang dapat melakukan komunikasi lewat bahasa verbal. Selain itu bahasa juga sangat kompleks oleh sebab itu tidak mungkin manusia belajar bahasa dari makhluk Tuhan yang lain. Chomsky juga menyatakan bahwa setiap anak yang lahir ke dunia telah memiliki bekal dengan apa yang disebutnya “alat penguasaan bahasa” atau LAD (language Acquisition Device). Chomsky dalam Hadley (1993:50) mengemukakan bahwa belajar bahasa merupakan kompetensi khusus bukan sekedar subset belajar secara umum. Cara berbahasa jauh lebih rumit dari sekedar penetapan Stimulus- Respon. Chomsky dalam Hadley (1993: 48) mengatakan bahwa eksistensi bakat bermanfaat untuk menjelaskan rahasia penguasaan bahasa pertama anak dalam waktu singkat, karena adanya LAD. Menurut golongan ini belajar bahasa pada hakikatnya hanyalah proses pengisian detil kaidah-kaidah atau struktur aturan-aturan bahasa ke dalam LAD yang sudah tersedia secara alamiah pada manusia tersebut.
Manusia mempunyai bakat untuk terus menerus mengevaluasi sistem bahasanya dan terus menerus mengadakan revisi untuk pada akhirnya menuju bentuk yang berterima di lingkungannya.
3.      Teori Mentalisme
Teori mentalisme merupakan kebalikan dari teori behaviorisme dimana teori ini lebih cenderung pada pembahasan yang bersifat batiniah. Menurut N. Chomsky (dalam sumardi, 1992:97) bahwa pemerolehan bahasa tidak dapat dicapai melalui pembentukan kebiasaan karena bahasa terlalu sulit untuk dipelajari dengan cara semacam itu apalagi dalam waktu yang singkat.
4.      Teori Kognitivisme
Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang hayatnya. Kognisi adalah suatu perabot dalam benak kita yang merupakan “pusat” penggerak berbagai kegiatan kita: mengenali lingkungan, melihat berbagai masalah, menganalisis berbagai masalah, mencari informasi baru, menarik simpulan dan sebagainya.
Sehingga dalam aliran kognitivistik ini terdapat ciri-ciri pokok. Adapun ciri-ciri dari aliran kognitivistik yang dapat dilihat adalah sebagai berikut:
a.       Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia
b.      Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian
c.       Mementingkan peranan kognitif
d.      Mementingkan kondisi waktu sekarang
e.       Mementingkan pembentukan struktur kognitif
5.      Teori Humanisme
Dalam teori humanisme, setiap siswa memiliki tanggung jawab terhadap pembelajaran mereka masing-masing, mampu mengambil keputusan sendiri, memilih dan mengusulkan aktivitas yang akan dilakukan mengungkapkan perasaan dan pendapat mengenai kebutuhan, kemampuan, dan kesenangannya. Dalam hal ini, guru berperan sebagai fasilitator pengajaran, bukan menyampaikan pengetahuan.
6.      Teori Fungsionalisme
Dengan munculnya kontruktivisme dalam dunia psikologi, dalam tahun-tahun terakhir ini menjadi lebih jelas bahwa belajar bahasa berkembang dengan baik di bawah gagasan kognitif dan struktur ingatan.
Para peneliti bahasa mulai melihat bahwa bahasa merupakan manifestasi kemampuan kognitif dan efektif untuk menjelajah dunia, untuk berhubungan dengan orang lain dan juga keperluan terhadap diri sendirisebagai manusia. Lebih lagi kaedah generatif yang diusulkan di bawah naungan nativisme itu bersifat abstrak, formal, eksplisit dan logis, meskipun kaidah itu lebih mengutamakan pada bentuk bahasa dan tidak pada tataran fungsional yang lebih dari makna yang dibentuk dari makna yang dibentuk dari interaksi sosial.
7.      Teori Kontruktivisme
Pembelajaran harus dibangun secara aktif oleh pembelajar itu sendiri dari pada dijelaskan secara rinci oleh orang lain. Dengan demikian pengetahuan yang diperoleh didapatkan dari pengalaman. Namun demikian, dalam membangun pengalaman siswa harus memiliki kesempatan untuk mengungkapkan pikirannya, menguji ide-ide tersebut melalui eksperimen dan percakapan atau tanya jawab, serta untuk mengamati dan membandingkan fenomena yang sedang diujikan dengan aspek lain dalam kehidupan mereka. Selain itu juga guru memainkan peranan penting dalam mendorong siswa untuk memperhatikan seluruh proses pembelajaran serta menawarkan berbagai cara eksplorasi dan pendekatan.
Untuk itu ada dua hal yang harus dipenuhi, yaitu:
  1. Pembelajar harus berperan aktif dalam menyeleksi dan menetapkan kegiatan sehingga menarik dan memotivasi pelajar,
  2. Harus ada guru yang tepat untuk membantu pelajar-pelajar membuat konsep-konsep, nilai-nilai, skema, dan kemampuan memecahkan masalah.


B.     PERTEMUAN II : JENIS, PENDEKATAN PBI
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.
1.    Pendekatan Kontekstual (Contextual/CTL)
Pendekatan konstektual merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi anak untuk memecahkan persoalan, berpikir kritis dan melaksanakan observasi serta menarik kesimpulan dalam kehidupan jangka panjangnya. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya.
2.    Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasil-nya diperluas melalui konteks yang terbatas, dan tidak serta merta. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswalah yang menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
3.    Pendekatan Terpadu dalam Pembelajaran Bahasa
Pendekatan integratif atau pendekatan terpadu merupakan pendekatan pembelajaran bahasa dengan cara berpikir menyeluruh, yang menghubungkan semua aspek keterampilan berbahasa sebagai kesatuan yang bermakna (Routman, 1991:276). Selain itu, Djiwandono (1996:10) mengataka bahwa pendekatan integrative merupakan penggabungan dari bagian-bagian dan komponen-komponen bahasa, yang bersama-sama membentuk bahasa. Dalam pembelajaran bahasa, materi pembelajaran bahasa disajikan secara terpadu, yaitu terpadu antar-materi dalam pembelajaran bahasa dan berpijak pada satu tema tertentu. Pendekatan integratif menurut Pappas (1990)  berlandaskan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.         Siswa aktif dan merupakan pengajaran yang bersifat konstruktif,
b.        Bahasa digunakan untuk bermacam-macam pola;
c.         Pengetahuan diorganisasikan dan dibentuk oleh pembelajar secara individual melalui interaksi sosial.

4.    Whole language
Whole language adalah satu pendekatan pengajaran bahasa yang menyajikan pengajaran bahasa secara utuh, tidak terpisah - pisah (Edelsky, 1991; Froese, 1990; Goodman, 1986; Weaver, 1992). Para ahli whole language berkeyakinan bahwa bahasa merupakan satu kesatuan (whole) yang tidak dapat dipisah- pisahkan (Rigg, 1991). Oleh karena itu pengajaran keterampilan berbahasa dan  komponen bahasa seperti tata bahasa dan kosakata disajikan secara utuh bermakna dan  dalam situasi nyata atau otentik. Pengajaran tentang penggunaan tanda baca seperti koma, semikolon, dan kolon misalnya, diajarkan sehubungan dengan pelajaran menulis. Jangan mengajarkan penggunaan tanda baca tersebut hanya karena materi itu tertera dalam kurikulum.
5.    Pendekatan Tematik
Pendekatan tematik adalah suatu sistem pembelajaran yang menyatukan beberapa mata pelajaran yang dikaitkan/berpusat pada satu pokok permasalahan (tema), sehingga terjadi kepaduan antara yang satu dengan yang lain dan dapat memberikan pengalaman belajar yang berarti bagi siswa. Pengalaman yang berarti tersebut ditunjukan dengan mampunya siswa menghubungkan antara konsep-konsep belajar yang telah dilakukannya dan dapat diwujudkannya/direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga siwa tidak hanya menghafal materi pelajaran saja. Pendekatan tematik menekankan pada pembelajaran yang mengajak siswa untuk menemukan dan melakukan pengalaman belajaranya sendiri (learning by doing). Pendekatan ini dimotori oleh Gestalt dan Piaget yang menekankan bawah pembelajran haruslah bermakna dan sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan anak.
6.    Pendekatan Balance Literacy
Pendekatan Balance Literacy merupakan konsep pembelajaran yang memadukan pendekatan phonic dan whole language yang saling bertentangan untuk penerapan pembelajaran terbaik dalam pengembangan kemampuan membaca dan menulis. Pendekatan phonic menekankan pembelajaran pada ketepatan dan keakuratan dalam membaca kata. Anak diperkenalkan dengan aturan-aturan fonetis dan fonemis atau cara mengeja dan menuliskan huruf/kata (keterampilan analisis phonic). Siswa diajari memahami hubungan antara huruf-bunyi pada kata, meliputi bunyi vokal, konsonan, diftong, dan konsonan ganda. Misalnya anak perlu memahami ucapan bunyi vokal dan variasi kata.


C.    PERTEMUAN III : HAKEKAT BAHASA
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. (Kridalaksana: 1983)
Ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa yaitu:
1.      bahasa itu adalah sebuah sistem, Sistem berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. sistem terbentuk oleh sejumlah unsur yang satu dan yang lain berhubungan secara fungsional. Bahasa terdiri dari unsur-unsur yang secara teratur tersusun menurut pola tertentu dan membentuk satu kesatuan.
2.      bahasa itu berwujud lambang, bahasa itu bersifat sistematis dan sistemis. Sistematis artinya bahasa itu tersusun menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak. Sistemis artinya bahasa itu bukan merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri dari sub-subsistem atau sistem bawahan (dikenal dengan nama tataran linguistik). Tataran linguistik terdiri dari tataran fonologi, tataran morfologi, tataran sintaksis, tataran semantik, dan tataran leksikon. Secara hirarkial, bagan subsistem bahasa tersebut sebagai berikut.
3.      bahasa itu berupa bunyi, Lambang dengan berbagai seluk beluknya dikaji orang dalam bidang kajian ilmu semiotika, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kehidupan manusia. Dalam semiotika dibedakan adanya beberapa tanda yaitu: tanda (sign), lambang (simbol), sinyal (signal), gejala (sympton), gerak isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon. Lambang bersifat arbitrer, artinya tidak ada hubungan langsung yang bersifat wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya.
4.      bahasa itu bersifat arbitrer, Menurut Kridalaksana (1983), bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan dalam tekanan udara. Bunyi bahasa adalah bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia. Tetapi juga tidak semua bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia termasuk bunyi bahasa Kata arbitrer bisa diartikan ’sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka’. Yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Ferdinant de Saussure (1966: 67) dalam dikotominya membedakan apa yang dimaksud signifiant dan signifie. Signifiant (penanda) adalah lambang bunyi itu, sedangkan signifie (petanda) adalah konsep yang dikandung signifiant.
5.      bahasa itu bermakna, . Salah satu sifat hakiki dari bahasa adalah bahasa itu berwujud lambang. Sebagai lambang, bahasa melambangkan suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi itu. Maka, dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyi makna. Karena bahasa itu bermakna, maka segala ucapan yang tidak mempunyai makna dapat disebut bukan bahasa.
6.      bahasa itu bersifat konvensional, Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya bersifat arbitrer, tetapi penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Misalnya, binatang berkaki empat yang biasa dikendarai, dilambangkan dengan bunyi [kuda], maka anggota masyarakat bahasa Indonesia harus mematuhinya. Kalau tidak dipatuhinya dan digantikan dengan lambang lain, maka komunikasi akan terhambat.
7.      bahasa itu bersifat unik, Bahasa dikatakan bersifat unik, artinya setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat, atau sistem-sistem lainnya.
8.      bahasa itu bersifat universal, Selain bersifat unik, bahasa juga bersifat universal. Artinya, ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Misalnya, ciri universal bahasa yang paling umum adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan.
9.      bahasa itu bersifat produktif, Bahasa bersifat produktif, artinya meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang tidak terbatas, meski secara relatif, sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu.
10.  bahasa itu bervariasi, Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan berbagai status sosial dan latar belakang budaya yang tidak sama. Karena perbedaan tersebut maka bahasa yang digunakan menjadi bervariasi. Ada tiga istilah dalam variasi bahasa yaitu:
a.       Idiolek : Ragam bahasa yang bersifat perorangan.
b.      Dialek : Variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu.
c.       Ragam : Variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tertentu. Misalnya, ragam baku dan ragam tidak baku.
11.  bahasa itu bersifat dinamis, Bahasa tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya di dalam masyarakat kegiatan manusia itu selalu berubah, maka bahasa menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap, menjadi dinamis. Perubahan itu dapat berupa pemunculan kata atau istilah baru, peralihan makna sebuah kata, dan perubahan-perubahan lainnya.
12.  bahasa itu manusiawiAlat komunikasi manusia berbeda dengan binatang. Alat komunikasi binatang bersifat tetap, statis. Sedangkan alat komunikasi manusia, yaitu bahasa bersifat produktif dan dinamis. Maka, bahasa bersifat manusiawi, dalam arti bahasa itu hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia.

Prinsip BahasaAda beberapa prinsip pembelajaran bahasa Indonesia yaitu :
1.      Prinsip Kontekstual,  Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan menghubungkannya dengan masalah kehidupan mereka sehari-hari. Pendekatan Kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru menghubungkan antara bahan yang diajarkan dengan situasi dunia nyata.
2.      Prinsip Integratif, Menurut Maksan (1994:2) bahasa adalah suatu sistem. Hal tersebut berarti suatu keseluruhan kegiatan yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan untuk mencapai tujuan berbahasa yaitu berkomunikasi. Subsistem bahasa adalah fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Keempat sistem ini tidak dapat berdiri sendiri. Artinya. pada saat kita menggunakan bahasa, tidak hanya menggunakan salah satu unsur tersebut. Sebagai contoh pada saat pembelajaran berbicara, kita menggunakan kata, kata disusun menjadi kalimat. Kalimat yang kita ucapkan menggunakan intonasi yang tepat. Dalam kaitan ini secara tidak sadar kita telah memadukan unsur fonologi (lafal, intonasi). morfologi (kata), sintaksis (kalimat). dan semantik (makna kalimat).
3.      Prinsip Fungsional, Prinsip fungsional dalam pemabalajaran bahasa pada hakikatnya sejalan dengan konsep pembelajaran pendekatan komunikatif.
4.      Prinsip Apresiatif, Prinsip apresiatif ini tidak hanya berlaku untuk pembelajaran bahasa, tetapi juga untuk pembelajaran aspek yang lain seperti keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis). Dalam hal ini pembelajaran bahasa dapat dipadukan dalam pembelajaran keempat keterampilan berbahasa tersebut.
Proses BerbahasaMeski seharihari kita menghasilkan ujaran dan memahami ujaran orang lain, rasanya tak pernah terpikirkan oleh kita bagaimana proses berbahasa itu terjadi. Untuk dapat memahaminya Anda perlu memahami dulu tentang tindak berbahasa.
De Saussure seorang linguis dari Swiss menyatakan bahwa proses bertutur atau tindak bahasa itu merupakan rantai hubungan di antara dua orang atau lebih penutur A dan pendengar B (Simanjuntak, 1987). Perilaku tuturan itu terdiri atas bagian fisik yang terdiri atas mulut, telinga dan bagian dalam yaitu bagian jiwa atau akal yang terdapat dalam otak bertibdak sebagai pusat penghubung. Jika A bertutur, maka B mendengar dan jika B bertutur maka, A mendengar.
Di dalam otak penutur A terdapat faktafakta mental atau konsepkonsep yang dihubungkan dengan bunyibunyi kebahasaan sebagai perwujudannya yang digunakan untuk menyatakan konsepkonsep itu. Baik konsep maupun bayangan bunyi itu berada dalam otak, yaitu pada pusat penghubung. jika penutur A mengemukakan suatu konsep kepada penutur B, maka konsep tersebut membukakan pintu kepada pewujudnya yang serupa yaitu bayangan bunyi yang masih ada dalam otak dan merupakan fenomena psikologis. Kemudian otak mengirimkan dorongan hati yang sama dengan bayangan bunyi tadi kepada alat-alat yang mengeluarkan bunyi dan ini merupakan proses fisiologis. Kemudian gelombang bunyi bergerak dari mulut A ke telinga B dan ini merupakan proses fisik. Dari telinga B gelombang bunyi bergerak terus ke arah otak B dalam bentuk dorongan hati dan ini juga proses psikologis yang menghubungkan bayangan bunyi ini dengan konsep yang terjadi

D.    PERTEMUAN IV, V, VII, IX : HAKIKAT BELAJAR MENYIMAK; BERBICARA; MEMBACA; MENULIS;
1.      KETERAMPILAN MENYIMAK (LISTENING SKILLS)
Menyimak merupakan salah satu jenis keterampilan berbahasa ragam lisan yang bersifat reseptif. Dengan demikian, menyimak tidak sekadar kegiatan mendengarkan tetapi juga memahaminya. Ada dua jenis situasi dalam menyimak, yaitu situasi menyimak secara interaktif dan situasi menyimak secara noninteraktif. Menyimak secara interaktif terjadi dalam percakapan tatap muka dan percakapan di telepon atau yang sejenisnya. Dalam menyimak jenis ini, kita bergantian melakukan aktivitas menyimak dan berbicara. Oleh karena itu, kita memiliki kesempatan untuk bertanya guna memperoleh penjelasan, meminta lawan bicara mengulang apa yang diucapkan olehnya atau mungkin memintanya berbicara agak lebih lambat. Kemudian, contoh situasi-situasi mendengarkan noninteraktif, yaitu mendengarkan radio, TV, film, khotbah, atau menyimak dalam acara-acara seremonial. Dalam situasi menyimak noninteraktif tersebut, kita tidak dapat meminta penjelasan dari pembicara, tidak bisa pembicara mengulangi apa yang diucapkan, dan tidak bisa meminta pembicaraan diperlambat.  Berikut ini adalah keterampilan-keterampilan mikro yang terlibat ketika kita berupaya untuk memahami apa yang kita dengar, yaitu pendengar harus mampu menguasai beberapa hal berikut:
a.       menyimpan/mengingat unsur bahasa yang didengar menggunakan daya ingat jangka pendek (short-term memory);
b.      berupaya membedakan bunyi-bunyi yang membedakan arti dalam bahasa target;
c.       menyadari adanya bentuk-bentuk tekanan dan nada, warna suara, intonasi, dan adanya reduksi bentuk-bentuk kata;
d.      membedakan dan memahami arti kata-kata yang didengar;
e.       mengenal bentuk-bentuk kata khusus (typical word-order patterns);
f.       mendeteksi kata-kata kunci yang mengidentifikasi topik dan gagasan;
g.      menebak makna dari konteks;
h.      mengenal kelas-kelas kata (grammatical word classes);
i.        menyadari bentuk-bentuk dasar sintaksis;
j.        mengenal perangkat-perangkat kohesif (recognize cohesive devices);
k.      mendeteksi unsur-unsur kalimat seperti subjek, predikat, objek, preposisi, dan unsur-unsur lainnya.

2.      KETERAMPILAN BERBICARA (SPEAKING SKILLS)
Berbicara merupakan salah satu jenis keterampilan berbahasa ragam lisan yang bersifat produktif. Sehubungan dengan keterampilan berbicara ada tiga jenis situasi berbicara, yaitu interaktif, semiinteraktif, dan noninteraktif. Situasi-situasi berbicara interaktif, misalnya percakapan secara tatap muka dan berbicara lewat telepon yang memungkinkan adanya pergantian antara berbicara dan menyimak, dan juga memungkinkan kita meminta klarifikasi, pengulangan atau kita dapat meminta lawan bicara memperlambat tempo bicara dari lawan bicara. Kemudian, ada pula situasi berbicara yang semiinteraktif, misalnya alam berpidato di hadapan umum secara langsung. Dalam situasi ini, audiens memang tidak dapat melakukan interupsi terhadap pembicaraan, namun pembicara dapat melihat reaksi pendengar dari ekspresi wajah dan bahasa tubuh mereka. Beberapa situasi berbicara dapat dikatakan betul-betul bersifat noninteraktif, misalnya berpidato melalui radio atau televisi. Berikut ini beberapa keterampilan mikro yang harus dimiliki dalam berbicara. Seorang pembicara harus dapat:
a.       mengucapkan bunyi-bunyi yang berbeda secara jelas sehingga pendengar dapat membedakannya;
b.      menggunakan tekanan dan nada serta intonasi yang jelas dan tepat sehingga pendengar dapat memahami apa yang diucapkan pembicara;
c.       menggunakan bentuk-bentuk kata, urutan kata, serta pilihan kata yang tepat;
d.      menggunakan register atau ragam bahasa yang sesuai terhadap situasi komunikasi, termasuk sesuai ditinjau dari hubungan antara pembicara dan pendengar;
e.       berupaya agar kalimat-kalimat utama (the main sentence constituents) jelas bagi pendengar;
f.       berupaya mengemukakan ide-ide atau informasi tambahan guna menjelaskan ide-ide utama;
g.      berupaya agar wacana berpautan secara selaras sehingga pendengar mudah mengikuti pembicaraan.
3.      KETERAMPILAN MEMBACA (READING SKILLS)
      Membaca merupakan salah satu jenis keterampilan berbahasa ragam tulis yang bersifat reseptif. Keterampilan membaca dapat dikembangkan secara tersendiri, terpisah dari keterampilan menyimak dan berbicara. Tetapi, pada masyarakat yang memiliki tradisi literasi yang telah berkembang, sering kali keterampilan membaca dikembangkan secara terintegrasi dengan keterampilan menyimak dan berbicara. Keterampilan-keterampilan mikro yang terkait dengan proses membaca yang harus dimiliki pembaca adalah:
a.       mengenal sistem tulisan yang digunakan;
b.      mengenal kosakata;
c.       menentukan kata-kata kunci yang mengidentifikasikan topik dan gagasan utama;
d.      menentukan makna-makna kata, termasuk kosakata split, dari konteks tertulis;
e.       mengenal kelas kata gramatikal: kata benda, kata sifat, dan sebagainya;
f.       menentukan konstituen-konstituen dalam kalimat, seperti subjek, predikat, objek, dan preposisi;
g.      mengenal bentuk-bentuk dasar sintaksis;
h.      merekonstruksi dan menyimpulkan situasi, tujuan-tujuan, dan partisipan;
i.        menggunakan perangkat kohesif leksikal dan gramatikal guna menarik kesimpulan-kesimpulan;
j.        menggunakan pengetahuan dan perangkat-perangkat kohesif leksikal dan gramatikal untuk memahami topik utama atau informasi utama;
k.      membedakan ide utama dari detail-detail yang disajikan;
l.        menggunakan strategi membaca yang berbeda terhadap tujuan-tujuan membaca yang berbeda, seperti skimming untuk mencari ide-ide utama atau melakukan studi secara mendalam.
4.      KETERAMPILAN MENULIS (WRITING SKILLS)
Menulis merupakan salah satu jenis keterampilan berbahasa ragam tulis yang bersifat produktif. Menulis dapat dikatakan keterampilan berbahasa yang paling rumit di antara jenis-jenis keterampilan berbahasa lainnya. Ini karena menulis bukanlah sekadar menyalin kata-kata dan kalimat-kalimat; melainkan juga mengembangkan dan menuangkan pikiran-pikiran dalam suatu struktur tulisan yang teratur. Berikut ini keterampilan-keterampilan mikro yang diperlukan dalam menulis, penulis perlu untuk:
a.       menggunakan ortografi dengan benar, termasuk di sini penggunaan ejaan;
b.      memilih kata yang tepat;
c.       menggunakan bentuk kata dengan benar;
d.      mengurutkan kta-kata dengan benar;
e.       menggunakan struktur kalimat yang tepat dan jelas bagi pembaca;
f.       memilih genre tulisan yang tepat, sesuai dengan pembaca yang dituju;
g.      mengupayakan ide-ide atu informasi utama didukung secara jelas oleh ide-ide atau informasi tambahan;
h.      mengupayakan terciptanya paragraf dan keseluruhan tulisan koheren sehingga pembaca mudah mengikuti jalan pikiran atau informasi yang disajikan;
i.        membuat dugaan seberapa banyak pengetahuan yang dimiliki oleh pembaca sasaran mengenai subjek yang ditulis dan membuat asumsi mengenai hal-hal yang belum mereka ketahui dan penting untuk ditulis.



E.     PERTEMUAN VI : SISTEM BAHASA
1.      Pengertian Fonologi Bahasa Indonesia
Fonologi adalah bunyi bahasa yang berfungsi dalam ujaran dan yang dapat membedakan makna itulah yang menjadi objek salah satu disiplin linguistik.
2.      Fonologi dan Fonetik
      Fonologi lazim diartikan sebagai bagian dari kajian linguistik yang mempelajari, membahas, membicarakan, dan menganalisis bunyi- bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat- alat ucap manusia.
      Fonetik adalah cabang kajian linguistik yang meneliti bunyi- bunyi bahasa tanpa melihat apakah bunyi- bunyi itu dapat membedakan makna kata atau tidak. Fonetik adalah ilmu yang mempelajari bunyi bahasa yang tidak memperhatikan fungsinya sebagai pembeda makna ( Verhaar dalam buku Padeta 2003 : 4).
3.      Proses Bunyi Bahasa
Muolton dalam buku Pateda 2003 : 10 mengatakan, ada 11 tahap proses yang dilalui oleh bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat- alat bicara pembicara sampai dipahami oleh pendengar. Tahap- tahap dimaksud adalah sebagai berikut ;
a.       Membuat kode sematis.
Pembicara membayangkan acuan- acuan yang ingin disampaikannya dalam bentuk- bentuk satuan- satuan semantis yang diharapkan satuan semantis ini akan sama dengan penafsirannya pada pihak pendengar.
b.      Membuat kode gramatikal.
Pembicara telah memilih satuan semantis yang cocok dengan acuan yang ada dalam bayangannya, ia akan memutuskan suatu gramatikal, apakah kata atau kalimat. Kata dan kalimat yang dipilih harus sesuai dengan kaidah bahasa yang digunakan.
c.       Membuat kode fonologis.
Mengubah satuan gramatikal tadi dalam wujud bunyi- bunyi bahasa.
d.      Mengirimkan perintah otak kepada alat bicara.
Proses ini berada dalam “mind’. Wujudnya berupa gejolak jiwa yang menuntut untuk segera dihasilkan.
e.       Alat bicara melaksanakan gerakkan sesuai dengan perintah otak.
Tahap ini termasuk dalam tahap fisiologis.
f.       Tahap ini merupakan tahap akustik
Bunyi- bunyi bahasa tadi diteruskan yang akan berwujud gelombang- gelombang bunyi.
g.      Tahap fisiologis
Gelombang bunyi tadi menyentuh alat pendengar. Gelombang bunyi merangsang telinga pendengar yang menyebabkan si pendengar mengaktifkan mekanisme pendengarannya
h.      Tahap fisiologi yang berkaitan dengan fonetik auditoris.
Gelombang bunyi tadi diubah menjadi getaran. Getaran teruskan ke otak.
i.        Pemecahan kode
Getaran tadi yang sebenarnya berisi pesan pembicara dalam bentuk kode- kode, harus ditafsirkan atau dimaknakan. Pengolahan terjadi di otak dengan jalan mencocokkan gejala- gejala itu dengan pengetahuan si pendengar yang sesuai dengan sistem bahasa yang dikuasai pendengar.
j.        Pemecahan kode secara gramatikal
Kode- kode berwujud getaran yang telah dimaknakan secara fonologis itu, kemudian ditafsirkan dengan cara gramatikal. Strukturnya disesuaikan dengan struktur bahasa yang dikuasai pendengar.
k.      Pemecahan kode secara semantis
Struktur gramatikal dilihat maknanya baik yang berwujud kata maupun yang berwujud satuan yang lebih besar, apakah Frase atau kalimat. Proses pengolahan gelombang bunyi sehingga dipahami oleh pendengar, semuanya dilakukan oleh otak.

4.      Jenis-jenis Fonologi
a.       Fonetik Sebelum SPEFonologi sebelum SPE mengklasifikasikan fonem-fonem berdasarkan alat bicara yang menghasilkan bunyi-bunyi bahasa tersebut
b.      Fonologi SPE. Pandangan ini melahirkan tata bahasayang dikenal dengan tata bahasa generatif. Tujuan utama bahasa generatif, yakni menunjukkan kemungkinankaidah-kaidah  tersederhana dalam suatu bahasa.
c.       Fonologi Autosegmental. Istilah autosegmental berasal dari kata Autonomous dan segmental yang menjelaskan bahwa beberpa fitur dipresentasikan tersendiri dari yang lain, dan dihubungkan dalam bentuk matrix dengan fitur lain melalui segmen yang saling berhubungan.
d.      Fonologi MatrikalDorongan pendapat yang melahirkan fonologi matrikal, yakni perhatian fonetisi pada masalah tekanan dalam bahasa (Inggris).
e.       Fonologi LeksikalSetiap leksikonsecara esensial adalah morfem yang perwujudannya berisi komponen yang bersifat fonologis danterkait satu sama lain dalam strata yang lebih tinggi, yakni yang sifatnya sintaktik dan tentu saja berbeban makna.
f.       Fonologi prosodikPrinsip yang mendasari fonologi prosodik, yakni pandangan yang berlaku dalam tata  bahasa generatif,terutama hubungan antara morfologi dan sintaksis yang terkenal dengan sebutan tata bahasa model T.
5.      Struktur Sintaksis
Secara umum struktur sintaksis itu terdiri dari susunan subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan. Menurut Verhar (1978) fungsi-fungsi sintaksis itu yang terdiri dari unsur-unsur S, P, O, dan K itu merupakan “kotak-kotak kosong” atau “tempat0tempat kosong” yang tidak mempunyai arti apa-apa karenan kekosongannya. Tempat-tempat kosong itu akan diisi oleh sesuatu yang berupa kategori dan memiliki peranan tertentu.
6.      Frasa
Frasa atau frase adalah sebuah makna linguistik. Lebih tepatnya, frasa merupakan satuan linguistik yang lebih besar dari kata dan lebih kecil dari klausa dan kalimat. Frasa adalah kumpulan kata nonpredikatif. Artinya frasa tidak memiliki predikat dalam strukturnya. Itu yang membedakan frasa dari klausa dan kalimat.
7.      Klausa
Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada kom¬ponen, berupa kata atau frase, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagai keterangan. Sebuah konstruksi disebut kalimat kalau kepada konstruksi itu diberikan intonasi final atau intonasi kalimat. Jadi, konstruksi nenek mandi baru dapat disebut kalimat kalau kepadanya diberi intonasi final kalau belum maka masih berstatus klausa.Tempat klausa adalah di dalam kalimat. Dapat juga dikatakan, klausa adalah sebuah konstruksi yang di dalamnya terdapat beberapa kata yang mengandung unsur predikatif (Keraf, 1984:138).
8.      Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa terkecil yang mengungkapkan pikiran yang utuh, baik dengan cara lisan maupun tulisan. Kalimat adalah satuan bahasa terkecil yang merupakan kesatuan pikiran (Widjono:146). Manaf (2009:11) lebih menjelaskan dengan membedakan kalimat menjadi bahasa lisan dan bahasa tulis.



F.     PERTEMUAN X-XI : JENIS MEDIA
1.      Pengertian Media dan Jenis Media
Media adalah segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan informasi atau pesan. Kata media berasal dari kata latin, merupakan bentuk jamak dari kata “medium”. Secara harfiah kata tersebut mempunyai arti "perantara" atau "pengantar", yaitu perantara sumber pesan (a source) dengan penerima pesan (a receiver). Jadi, dalam pengertian yang lain, media adalah alat atau sarana yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Banyak ahli dan juga organisasi yang memberikan batasan mengenai pengertian media.
Dalam Buku Pengantar Ilmu Komunikasi (Cangara, 2006 : 119), media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Ada beberapa pakar psikologi memandang bahwa dalam komunikasi antarmanusia, maka media yang paling dominasi dalam berkomunikasi adalah pancaindera manusia seperti mata dan telinga. Pesan – pesan yang diterima selanjutnya oleh pancaindera selanjutnya diproses oleh pikiran manusia untuk mengontrol dan menentukan sikapnya terhadap sesuatu, sebelum dinyatakan dalam tindakan.
2.      Jenis-jenis media secara umum dapat dibagi menjadi:
§  Media Visual: media visual adalah media yang bisa dilihat, dibaca dan diraba. Media ini mengandalkan indra penglihatan dan peraba. Berbagai jenis media ini sangat mudah untuk didapatkan. Contoh media yang sangat banyak dan mudah untuk didapatkan maupun dibuat sendiri. Contoh: media foto, gambar, komik, gambar tempel, poster, majalah, buku, miniatur, alat peraga dan sebagainya.
§  Media Audio: media audio adalah media yang bisa didengar saja, menggunakan indra telinga sebagai salurannya. Contohnya: suara, musik dan lagu, alat musik, siaran radio dan kaset suara atau CD dan sebagainya.
§  Media Audio Visual: media audio visual adalah media yang bisa didengar dan dilihat secara bersamaan. Media ini menggerakkan indra pendengaran dan penglihatan secara bersamaan. Contohnya: media drama, pementasan, film, televisi dan media yang sekarang menjamur, yaitu VCD. Internet termasuk dalam bentuk media audio visual, tetapi lebih lengkap dan menyatukan semua jenis format media, disebut Multimedia karena berbagai format ada dalam internet.
3.      Perbedaan media pendidikan dengan sumber belajar
Media pembelajaran adalah alat, sarana, perantara, dan penghubung untuk menyebar, membawa atau menyampaikan sesuatu pesan (message) dan gagasan, sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perbuatan, minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar mengajar terjadi pada diri siswa. Dalam media pembelajaran terdapat dua unsur yang terkandung , yaitu (a) pesan atau bahan pengajaran yang akan disampaikan atau perangkat lunak, dan (b) alat penampil atau perangkat keras.
Sedangkan sumber belajar (learning resources) adalah semua sumber baik berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh siswa dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah siswa dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu. Sumber belajar adalah bahan-bahan yang dimanfaatkan dan diperlukan dalam proses pembelajaran, yang dapat berupa buku teks, media cetak, media elektronik, narasumber, lingkungan sekitar, dan sebagainya yang dapat meningkatkan kadar keaktifan dalam proses pembelajaran.


G.    PERTEMUAN XII-XIV
1.      Pengertian Evaluasi
Secara operasional, evaluasi ialah usaha mengumpulkan berbagai informasi secara berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil belajar yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan perlakaukan selanjutnya. Evaluasiadalah alat untuk mengukur kemampuan dan penguasaan peserta didik terhadap bahan pendidikan yang telah diberikan.
2.      Jenis-jenis Evaluasi
Yang penulis maksudkan dengan jenis-jenis evaluasi ialah yang dapat digunakan dalam mengevaluasi pedidikan agama Islam di sekolah. Prof. Dr. H. Mappanganro, MA mengemukakan jenis-jenis evaluasi ini dalam bentuk antara lain: test, observasi, interview, anecdotal record, checklist, dan sociometri.
a.       Test
Test adalah semacam ujian atau percobaan yang diharuskan untuk menyelesaikan atau menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu. Test ini, apabila ditinjau, maka dapat dilihat dari berbagai segi:
Test ditinjau dari berbagai fungsinya, dapat dibagi atas:
§  Speed test atau test kecepatan, yaitu suatu test untuk mengetahui kecepatan seseorang mengerjakan suatu tugas dengan kelompok soal-soal yang relatif kesulitannya dianggap sama. Yang mentes hanya ingin mengetahui sejauhmana kecepatan orang yang test dengan tidak memperhatikan kecakapan dan kepandaian orang yang ditest.
§  Power test atau test batas kesanggupan, yaitu suatu test untuk mengetahui sejauhmana kemampuan peserta didik yang hendak ditest.
§  General survey test, yaitu dilakukan untuk mengetahui tingkat pelajaran yang dikuasai seseorang yang dibandingkan dengan kecepatan orang lain yang dianggap sebaya dengan kepandaiannya.
§  Diagnostic test atau test pengukuran, yaitu suatu test yang dilakukan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan yang dialami oleh peserta didik atau suatu unit pelajaran, sehingga dapat diketahui hal-hal yang perlu mendapat perbaikan.
b.      Observasi
Observasi sebagai salah satu alat evaluasi, menilai, mengadakan pengamatan secara langsung, teliti dan sistematis.[20] Dapat pula dibagi atas dua jenis:
·         Participant observation, penilai melibatkan diri di tengah-tengah peserta didik yang sedang diamati.
·         Non-participant observation, penilai berada di luar garis seorang-olah sebagai penonton saja. Hal di atas dapat dipahami bahwa observasi adalah salah satu cara menghimpun data yang dilakukan dengan pengamatan langsung.

c.       Interview
Interview sebagai salah satu bagian dari evaluasi, adalah suatu alat evaluasi pendidikan dengan jalan tanya jawab sepihak yang dilaksanakan secara sistematis. Anas Sudijono mengemukakan ada dua jenis wawancara yang dapat dipergunakan sebagai alat evaluasi, yaitu:
o   Wawancara terpimpinMateri wawancara ini sudah dipersiapkan secara matang, yaitu dengan berpegang pada panduan wawancara, yang butir-butir itemnya terdiri atas hal-hal yang dipandang perlu.
o   Wawancara tidak terpimpinPewawancara selaku evaluator mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada peserta didik tanpa dikendalikan oleh pedoman tertentu.

d.      Anecdotal record 
Anecdotal recordadalah pencatatan mengenai seseorang dalam sesuatu atau banyak aspek. Pencatatan ini dibuat oleh evaluator baik berdasarkan pengamatannya sehari-hari maupun berdasarkan autobiografi peserta didik.
e.       Checklist 
Checklist adalah suatu daftar yang berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai sesuatu hal yang hendak dicek. Hal ini berguna bagi evaluasi, peserta memberikan tanda cek terhadap item-item yang diajukan.
f.       Sociometri 
Sociometri merupakan suatu teknik untuk mengetahui hubungan-hubungan antara perserta didik dalam kelas atau kelompok-kelompok dalam kelas.

3.      Pengertian Asessment
Assessment atau disebut juga dengan penilaian adalah suatu penerapan dan penggunaan berbagai cara dan alat untuk mendapatkan serangkaian informasi tentang hasil belajar dan pencapaian kompetensi dari peserta didik. Yang pada dasarnya, assessment yaitu istilah lain dari penilaian. Istilah Assessment sangat berkaitan dengan istilah evaluasi yaitu metode untuk mendapatkan hasil belajar siswa. Sehingga proses assessment ini dilaksanakan bertujuan untuk mengetahui sejauh apa presatasi belajar dari para peserta didik.
Pengertian lain dari assesment yaitu proses untuk memperoleh data atau informasi dari proses pembelajaran dan juga memberikan umpan biak terhadap guru ataupun kepada peserta didik.
Adapun jenis-jenis assessment yang sering dipakai, antara lain tes tertulis yang disajikan kepada siswa untuk menjawabnya yaitu:
4.      Jenis - jenis Asessment
a.       Performance Assessment
Performance assessment yaitu jenis assessment yang menyuruh para peserta didik untuk melakukan demonstasi bersamaan mengaplikasikan pengetahuan dalam berbagai situasi yang dikehendaki.
b.      Penilaian Portofolio Dan Penialain Proyek
Penilaian proyek ini adalah tugas dalam bentuk suatu investigasi diawali dari pengumpulan selanjutnya pengorganisasian dan evaluasi hingga dengan penyajian data.
c.       Product Assessment Dan Self Assessment
Product Assessment adalah penilaian keterampilan dengan cara membuat suatu produk tertentu. Sedangkan Self Assessment dilaksanakan sendiri oleh peserta didik atau guru yang bersangkutan untuk kepentingan pengelolaan Kegiatan Belajar Mengajar di tingkat kelas, terakhir, jenis assessment juga dapat berbentuk penilaian sikap dan penilaian dengan basis kelas.


H.    PERTEMUAN XV-XVI
Model pembelajaran Interaktif adalah suatu cara atau teknik pembelajaran yang digunakan guru pada saat menyajikan bahan pelajaran dimana guru pemeran utama dalam menciptakan situasi interaktif yang edukatif, yakni interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa dan dengan sumber pembelajaran dalam menunjang tercapainya tujuan belajar. Menurut Syah (1998) proses belajar mengajar keterlibatan siswa harus secara totalitas, artinya melibatkan pikiran, penglihatan, pendengaran dan psikomotor (keterampilan, salah satunya sambil menulis). Dalam proses mengajar seorang guru harus mengajak siswa untuk mendengarkan, menyajikan media yang dapat dilihat, memberi kesmpatan untuk menulis dan mengajukan pertanyaan atau tanggapan sehingga terjadi dialog kreatif yang menunjukan proses belajar mengajar yang interaktif.
Pengembangan model Pembelajaran interaktif dalam mata pelajaran IPS dapat dilakukan guru pada semua pokok bahasan, dengan syarat harus memperhatikan Sembilan hal yakni : motovasi, pemusatan perhatian, latar belakang siswa dan konteksitas materi pelajaran, perbedaan individual siswa, belajar sambil bermain, belajar sambil bekerja, belajar menemukan dan memecahkan permasalahan serta hubungan sosial. Dalam proses kegiatan belajar mengajar yang interaktif, guru berperan sebagai pengajar, motivator, fasilitator,  mediator, evaluator, pembimbing dan pembaru. Dengan demikian kedudukan siswa dalan kegiatan pem,belajaran di dalam kelas melalui peran aktif, dimana aktifitasnya dapat diukur dari kegiatan memperhatikan, memcatat, bertanya menjawab, mengemukakan pendapat dan mengerjakan tugas, baik tugas kelompok maupun tugas individu. Dalam situasi belajar yang demikian siswa akan mendapatkan pengalaman yang berkesan, menyenangkan dan tidak membosankan.
Ada empat alasan mengapa siswa harus dikembangkan kemampuan berpikir. Pertama, kehidupan kita dewasa ini ditandai dengan abad informasi yang menuntut setiap orang untuk memiliki kemampuan dalam mencari, menyaring guna menentukan pilihan dan memanfaatkan informasi tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kehidupannya, ;kedua, setiap orang senantiasa dihadapkan pada berbagai masalah dan ragam pilihan sehingga untuk itu dituntut memiliki kemampuan berfikir krisis dan kreatif, karena masalah dapat terpecahkan dengan pemikiran seperti itu, ketiga kemampuan memandang sesuatu hal dengan cara baru atau tidak konvensional merupakan keterampilan penting dalam memecahkan masalah, dan alasan keempat, kreatifitas merupakan aspek penting dalam memecahkan masalah, mulai dari apa masalahnya, mengapa muncul masalah dan bagaimana cara pemecahannya.
Guru dalam proses belajar mengajar yang interaktif dapat mengembangkan teknik bertanya efektif atau melakuakan dialog kreatif dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa. Sifat pertanyaan dapat mengungkapkan sesuatu atau memiliki sifat inkuiri sehingga melalui pertanyaan yang diajukan, siswa dikembangkan kemampuannya kea rah berfikir kreatif dalam menghadapi sesuatu. Beberapa komponon yang harus dikuasai oleh guru dalam menyampaikan pertanyaan yaitu pertanyaan harus mudah dimengerti oleh siswa, memberi acuan, pemusatan perhatian, pemindahan giliran dan penyebaran, pemberian waktu berpikir kepada siswa serta pemberian tuntutan. Sedangkan jenis pertanyaan untuk mengembangkan model dialog kreatif ada enam jenis yaitu : pertanyaan mengingat, mendeskripsikan, menjelaskan, sintesis, menilai dan pertanyaan terbuka. Untuk meningkatkan interaksi dalam proses belajar mengajar, guru hendaknya mengajukan pertanyaan dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan jawaban dan menjadi dinding pemantul atas jawaban siswa. Sementara itu Ahmadi (1984;35) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah hasil yang dicapai dalam suatu usaha, dalam hal ini hasil belajar berupa perwujudan prestasi belajar siswa yang dapat dilihat pada nilai setiap mengikuti tes hasil belajar.



-------------------------------------------------Desain Media----------------------------------------------------

Media untuk Kelas III dengan Subtema Kegiatan Sehari-hari









Share:

Posting Komentar

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes